ILMU MUNASABAH
Makalah
disusun untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah :
Ulumul
Qurán
Dosen
Pengampu : Dani Ramdani, M.Pd.
Oleh
: Kelompok 6
Ane Indriani
Lestari ( NPM : 192012)
Muhammad Muttaqo (NPM : 192018)
Nail Danialie
(NPM : 191012)
Nurchopipah
Kelas : Karyawan
MANAGEMENT BISNIS SYARI’AH (MBS)
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI DAN
BISNIS SYARI’AH NAHDLATUL ULAMA (STIEBS-NU) GARUT
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hakikat kesatuan
Al Qur’an adalah salah satu menefestasi sunatullah.
Bahwa Allah swt. telah menciptakan alam ini di atas pondasi kesatuan
struktur yang kokoh, saling mendukung antar bagiannya. Tanpa hakikat kesatuan
ini semua wujud si alam ini telah musnah
sejak ratusan tahun yang silam. Dalam tubuh manusia-sebagai miniatur alam
semesta –hakikat kesatuan ini nampak sangat jelas. Semua organ dalam tubuh
merupakan satu kesatuan dengan bagian lainnya. Al-Qur’an adalah firman Allah,
sudah dipastikan bahwa kalimat-kalimat dalam setiap ayat, dan ayat-ayat dalam
setiap surah adalah pernyataan yang paling sempurna. Maka benar kalau Al Qur’an
disebut sebagai mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Al Qur’an,
adalah kalamullah, semua kandungannya
pasti benar, dan keindahannya tak tertandingi, maka seluruh susunan di dalamnya
pasti teratur, serasi dan saling berpadu bagian-bagiannya.
Salah satu ilmu
untuk mempelajari Al Qur’an ialah “Munasabah”. Istilah tersebut mungkin
terdengar asing untuk kalangan awam. Hal ini sangatlah disayangkan mengingat
betapa besarnya peran munasabah dalam penafsiran al-Qur’an. Selama ini,
kebanyakan orang lebih mengenal “asbab an-nuzul” daripada “Munasabah”. Padahal,
dengan mengetahui sebab-sebab turunnya saja, para musafir (ahli tafsir) masih
mendapat kesulitan dalam menemukan tafsiran yang tepat mengenai suatu ayat atau
surat dalam al-Qur’an. Dengan mngetahui munasabah dalam al-Qur’an, seseorang
akan lebih mudah mengetahui maksud dari ayat ataupun surat dalam al-Qur’an.
Hubungan antara
ayat ataupun surat dalam al-Qur’an tentulah tidak disusun secara seimbang
karena setiap penyusunan dalam al-Qur’an memiliki makna yang saling berkaitan
dan sangat membantu dalam penafsira al-Qur’an.
Bahkan, sebagian mufassir (penafsir al-Qur’an) ada yang lebih mempercayai
munasabah dalam al-Qur’an daripada asbab an-nuzul yang belum diketahui betul
kebenarannya.
Maka, kita harus lebih mengenal dan
memahami arti munasabah dalam al-Qur’an sehingga dapat menganalisa keterkaitan
anatar ayat, surat, maupun juz dalam al-Qur’an sehingga akan mempermudan
mempelajari al-Qur’an dan mengkaji lebih dalam apa-apa yang terkandung dalam
al-Qur’an secara konfrehensif dan ilmiah.[1]
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana pengertian Munasabah.
2.
Bagaimana sejarah pertumbuhan dan
perkembangannya.
3.
Bagaimana macam-macam Munasabah.
4.
Bagaimana kedudukan Munasabah dalam
menafsirkan al-Qur’an.
5.
Bagaimana manfaat mempelajari Munasabah.
C. TUJUAN
PEMBAHASAN
1.
Mengetahui dan Memahami pengertian Munasabah.
2.
Mengetahui dan Memahami sejarah pertumbuhan dan
perkembangannya.
3.
Mengetahui dan Memahami macam-macam Munasabah.
4.
Mengetahui dan Memahami kedudukan Munasabah dalam
menafsirkan al-Qur’an.
5.
Mengetahui dan Memahami manfaat mempelajari Munasabah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN MUNASABAH
kata Munasabah
secara etimologi, menurut asy-Suyuthi berarti al-Musyakallah (keserupaan) dan muqarabah
(kedekatan). Kata “munasabah” sering
dipakai dalam tiga pengertian. Pertama, kata ini di pakai dengan makna musyakallah atau muqarabah (dekat). Jika diikatakan
fulan yunasibu fulanan, maka hal itu
berarti yuqaribu minhu wa susyakiluhu (proses
dekat atau hampirnya seseorang kepada orang
lain. Kata munasabah juga diartikan
dengan al-nasib (kerabat atau sanak
keluarga).
Secara istilah, munasabah
berarti hubungan atau keterkaitan dan keserasian antara ayat-ayat Al Qur’an.
Ibnu Arabi, sebagaimana dikutip oleh Imam As-Sayuti, mendefenisikan munasabah
itu kepada keterkaitan ayat-ayat al-Qur’an antara sebagaimana dengan sebagian
yang lain sehingga ia terlihat sebagai suatu ungkapan yang sistematis.
Lebih jelas
mengenai pengertian munasabah secara etimologis disebutkan dalam kitab Al
burhan Fi Ulumil Qur’an bahwa munasabah merupakan ilmu yang mulia yang menjadi
teka-teki fikiran, dan yang dapat digunakan untuk mengetahui nilai (kedudukan)
pembicara terhadap apa yang di ucapkan.
Sedangkan secara terminologis, definisi
yang beragam muncul dari kalangan para ulama terkait dengan ilmu munasabah ini.
Imam Zarkasyi salah satunya, memaknai munasabah sebagai ilmu yang mengaitkan
pada bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafal-lafal umum dan
lafal-lafal khusus. Atau hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat,
illat dan ma’lul, kemiipan ayat pertentangan (ta’arudh).
Dalam pengertian istilah, munasabah
diartikan sebagai ilmu yang membahas hikmah korelasi urutan ayat al-Qur’an atau
dengan kalimat lain, munasabah adalah usaha pemikiran manusia dalam menggali
rahasia hubungan antar surat atau ayat yang dapat diterima oleh akal. Dengan demikian,
diharapkan ilmu ini dapat menyingkap rahasia ilahi, sekaligus sanggahannya,
bagi mereka yang meragukan al-Qur’an sebagai wahyu.
Ilmu munasabah berarti ilmu yang menerangkan
hubungan antara ayat atau surat yang satu dengan ayat atau surat yang lain. Karena
itu sebagian pengarang menanamkan ilmu ini dengan ilmu “Ilmu Tanasubil Ayati Was Suari” yang artinya juga sama, yaitu ilmu
yang menjelaskan persesuaian antara ayat-ayat yang satu dengan ayat-ayat yang
lain.
Sebagai
kesimpulannya, munasabah ialah: segi-segi hubungan atau persesuaian al-Qur’an
antara bagian demi bagian dalam berbagai bentuknya. Yang dimaksud dengan segi
hubungan atau persesuaian ialah semua pertalian yang merajuk pada makna-makna
yang mempertalikan satu bagian dengan bagian yang lain. Sedangkan yang dimaksud
dengan bagian demi bagian ialah semisal antara kata/kalimat dengan
kata/kalimat, antar ayat dengan ayat, antar awal surat dan akhir surat, antara
surat yang satu dengan surat yang lain, dan begitulah seterusnya hingga
benar-benar tergambar bahwa al-Qur’an itu merupakan satu kesatuan yang utuh dan
menyeluruh (holistik).[2]
B.
SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGANNYA
Alquran
merupakan mukjizat Nabi Muhammad SAW yang paling besar sehingga para ulama dari
masa lalu sampai kini terus berusaha mencari letak kemukjizatannya. Mukijizat
Alquran dapat dilihat dari berbagai sisi, baik dari bidang ilmu balaghah(
sastra), ‘ilmi ataupun dari ‘adadi( bilangan yang ada dalam
Alquran) dan lain-lain.
Selain di
samping tentang kemukjizatan Alquran, para ulama juga membahas tentang hubungan
satu segi dalam Alquran dan segi lainnya. Karena dibalik susunan Alquran, baik
ayat ataupun surah memliki hubungan atau korelasi. Alquran laksana sebuah
bangunan yang antara satu bagian dan bagian lainnya terdapat keserasian yang
demikian kokoh dan indah. Para ulama terdahulu yang tekun mempelajari dan
mencari munasabah dalam Alquran banyak menemukan hal-hal yang mencengankan. Hal
inilah yang membuat banyak kalangan mencoba menguraikan bentuk munsabah dengan
ijtihadi masing-masing.
Sejarah
munculnya ilmu munasabah dan juga bagaimana hubungan munasabah dalam
kajian ‘ulum Alquran sebelum membahas bagaimana penerapan munasabah
dalam Tafsir Al-Misbah. Berbicara tentang tradisi siapa yang pertama kali
memperkenalkan ilmu munasabah sebagai satu dari cabang ‘ulum Alquran
adalah menurut Al-Syarahbani, sebagaimana dikutib Al-Suyuthi bahwa seorang yang
pertama mengenalkan studi munasabah dalam menfasirkan Alquran adalah Abu Bakar
Abu Al-Qasim Al-Naisaburi (w.324). (lihat halaman 28, Buku Diskursus Munasabah
Alquran Dalam Tafsir Al-Misbah).
Al-Naisaburi
dianggap penggagas ilmu munasabah. Namun, sebelum Al-Naisaburi ada banyak kitab
yang ditulis oleh ulama-ulama terdahulu yang fokus mengkaji hubungan antarkata,
kalimat, dan ayat dalam surah contohnya pada abah ke dua hijriyah telah
lahir Majaz Al-Qur’an karya Ubaidah Ma’mar
bin Al-Mutsanna (w.203). (lihat halaman 28, Buku Diskursus
Munasabah Al-quran Dalam Tafsir Al-Misbah).
Seiring bejalannya
waktu ilmu munasabah mengalami perkembangannya yaitu meningkatnya munasabah
menjadi salah satu disiplin ilmu Alquran. Banyak ulama-ulama yang datang
kemudian menyusun secara khsusus ilmu munasabah. Menurut pengarang Tafsir
Al-Nur, penulis yang paling baik mengupas masalah munasabah adalah Burhanuddin
Al-Biqa’i dalam kitabnya yang berjudul Nazhm Al-durar fi Tanasub Al-Ayat
wa Al-Suwar. (lihat halaman 30, Buku Diskursus Munasabah Alquran Dalam
Tafsir Al-Misbah)
Adapun
kitab-kitab yang membicarakan munasabah secara khusus di antaranya
adalah Al-Burhan fi Munasabah tartib Al-Qur’an karya Ahmad bin
Ibrahim Al-Andalusi (w.807) dan juga dalam kitab-kitab
induk ‘ulum Alquran seperti karya Imam Jalaluddin Al-Suyuthi dalam
kitab Al-Itqan fi ‘Ulmu Al-Qur’an terdapat satu bab khusus membahas
munasabah dan juga dalam karya Muhammad Badruddin Al-Zarkasyi dalam
kitab Al-Burhan fii ‘Ulum Al-Qur’an juga terdapat bab khusus yang
membicarakan munasabah. Hal ini menandakan adanya peningkatan ataupun
perkembangan dalam ilmu munasabah yang akhirnya menjadi salah satu disiplin
ilmu dalam’ulum Alquran.
Para mufassir
ada menggunakan beberapa istilah munasabah seperti yang digunakan Fakhruddin
Al-Razi yaitu istilah ta’alluq. Ini merupakan sinonim dari munasabah. Dan
Sayyid Quthb dalam Tafsir fi Zhilal Al-Qur’an menggunaka
lafal irtibath sebagai pengganti kata munasabah. Tentunya pada waktu
mendatang akan banyak diwarnai oleh mufassir tentang munasabah dalam berbagai
ilmu dan bidang keahliannya masing-masing. (lihat halaman 32, Buku Diskursus
Munasabah Alquran Dalam Tafsir Al-Misbah)
Para ulama
klasik maupun komtemporer mempunyai perspektif tersendiri dalam munasabah
Alquran. Al-Zarkasyi (745-794 H) yang muncul
jauh setelah Al-Naisaburi (w.324H) dalam
kitab Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an kajiaanya tentang munasabah
terdapat dua pola munasabah yang ia kenalkan yaitu munasabah antarayat dan
munasabah antarsurah karena ia berpendapat bahwa sususnan surah
itu tauqifi. (lihat halaman 47, Buku Diskursus Munasabah Alquran dalam
Tafsir Al-Misbah)
Selanjutnya
ulama klasik yang kedua adalah Burhanuddin Al-Biqa’i (809-885 H/1406-1480 M).
Ia merangkum pemikirannya mengenai munasabah dalam kitab yang
berjudul Nazhm Al-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa Al-Suwar. Tidak ada
karya yang disepadankan dengan karya Al-Biqa’i ini karena didalamnya terdapat
tafsir komprehensif dan cermat terhadap Alquran. Dalam pandangan Al-biqa’i ilmu
munasabah pada umumnya adalah kajian tentang hubungan logis antara sejumlah
susunan ayat atau ide sehingga diperoleh keterkaitan satu ayat atau kandungannya
dengan ayat atau kandungan sebelum dan sesudahnya. (lihat halaman 50, buku
Diskursus Munasabah Alquran Dalam Tafsir Al-Misbah)
Ulama
kontemporer sebagian besar memiliki berbagai metodologi baru dan mencoba
mendekati dengan kacamata baru. Meskipun produk dari kajian mereka tersebut,
baik atau tidak, baik mengundang pro ataupun kontra yang jelas studi mereka
terhadap Alquran menyegarkan dan menggairahkan kembali ’Ulum
Alquran yang dianggap sebgai kalangan sudah mapan dan final.
Contoh
perkembangan tafsi Alquran di Mesir oleh Amin Al-Khuli (w.1769). yang
belakangan cara pandang Al-khuli banyak direalisasikan oleh istrinya yang
dikenal dengan Bintu Al-Syathi’. Dalam karya-karya Bintu Al-Syathi’ tidak
ditemukan pembahasan tentang munsabah secara utuh, percikan pemikirannya
tentang hal itu sangat terlihat kental. Walaupun penerapannya dalam munasabah
sedikit berbeda dengan ulama klasik karena Bintu Al-Syati’ lebih melihat kepada
kronologis konsekuensi logisnya sedangankan ulama klasik melihat dari segi kronologi
turunnya Alquran. (lihat halaman 56, Buku Diskursus Munasabah Dalam Tafsir
Al-Misbah)
Ulama
kontemporer selanjutnya yang membahas serius adalah Nashr Hamid Abu Zaid. Ia
membandingkan antar asbab al-nuzuldan munasabah. Ia mengatakan
bahwa asbab al-nuzulberkaitan dengan konteks sejarah, sedangkan munasabah
berkaitan dengan nilai pertautan antar ayat dan surahnya menurut urutan teks.
Jikar ilmu asab al-nuzul mengaitkan satu atau sejumlah ayat dengan
konteks sejarahnya. Fokus munasabah adalah antarayat dan antarsurah, bukan pada
kronologis historisnya dari bagian teks. Melainkan dengan urutan bacaan sebagai
lawan dari urutan turunnya. (lihat halaman 57, Buku Diskursus Munasabah Alquran
Dalam Tafsir Al-Misbah)[3]
C.
MACAM-MACAM MUNASABAH
Untuk lebih memperjelas pembahasan
mengenai munasabah, perlu dikemukakan macam-macamnya baik dilihat dari
sifat-sifatnya maupun dari segi materinya. Munasabah dari segi sifat-sifatnya
dapat dipilah menjadi dua, yaitu: zhahir
al-irtibath (korelasi yang transparan) dan Khofiyyu al-irtibath (korelasi yang terselubung).
1. Zhahir al-Irtibath (Korelasi yang transparan), yaitu: korelasi atau
persesuaian antara bagian atau ayat Al Qur’an yang satu dengan yang lain tampak
jelas dan kuat. Karena begitu kuatnya kaitan antara keduanya, sehingga yang
satu tidak dapat menjadi kalimat yang sempurna jika dipisahkan dengan kalimat
lain. Diantara ayat-ayat itu kadang-kadang menjadi penguat, penafsir,
penyambung, penjelasan, pengecualian atau bahkan pembatasan dari ayat yang lain.
Sehingga ayat-ayat tersebut tampak sebagai satu kesatuan yang utuh. Diantara
contoh yang dapat dikemukakan dalam kaitannya dengan itu adalah uraian firman
Allah sebagai berikut:
(Q.S. Al-Isra’ 17:1)
سُبۡحٰنَ
الَّذِیۡۤ اَسۡرٰی بِعَبۡدِہٖ لَیۡلًا مِّنَ الۡمَسۡجِدِ الۡحَرَامِ اِلَی
الۡمَسۡجِدِ الۡاَقۡصَا الَّذِیۡ بٰرَکۡنَا حَوۡلَہٗ لِنُرِیَہٗ مِنۡ اٰیٰتِنَا ؕ
اِنَّہٗ ہُوَ السَّمِیۡعُ الۡبَصِیۡرُ
Artinya: “Maha suci Allah yang telah menjalankan
hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjdil Aqsa yang telah
kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari
tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah maha mendengar lagi maha
mngetahui.”
Ayat di atas
menjelaskan mengenai Nabi Muhammad Saw yang diisra’kan oleh Allah SWT.
selanjutnya, ayat berikutnya dari surah al-isra’ yang berbunyi:
(Q.S. Al-Isra’ 17:2)
وَآتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَجَعَلْنَاهُ هُدًى لِبَنِي إِسْرَائِيلَ
أَلَّا تَتَّخِذُوا مِنْ دُونِي وَكِيلًا
Artinya: “Dan
kami berikan kepada Musa kitab (Taurat) dan kami jadikan kitab Taurat itu
petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman): “janganlah kamu mengambil penolong
selain aku,”
Ayat ini
menerangkan mengenai diturunkannya al-Kitab (Taurat) kepada Nabi Musa a.s.
persesuaian atau korelasi antara ayat pertama dengan ayat kedua tersebut tampak
jelas dalam hal diutusnya kedua orang Nabi dan Rasul tersebut.
2. Khofiyyu al-Irtibath (korelasi yang bersifat terselubung), yaitu korelasi
antara bagian atau ayat Al Qur’an yang tidak tampak secara jelas, seakan-akan
masing-masing ayat atau surah itu berdiri sendiri baik karena ayat yang satu di ‘athafkan kepada yang lain, atau karena yang satu seakan-akan
tampak bertentangan dengan yang lain. Korelasi seperti ini antara lain dapat
disimak pada ayat 189 surah al-Baqarah dengan ayat 190 dalam surah yang sama
berikut ini:
(Q.S. Al-Baqarah 2:189)
سْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ
وَالْحَجِّ ۗ
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan
sabit. Katakanlah: “bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan
(bagi ibadat) haji...”
Ayat ini
menerangkan tentang bulan tsabit yang
merupakan tanggal-tanggal sebagai tanda-tanda waktu dan untuk jadwal bagi
pelaksanaan ibadah haji. Sedangkan ayat 190 yang mengiringnya dalam surah yang
sama berbunyi:
(Q.S. Al-Baqarah 2:190)
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا
تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Artinya: “dan pergilah
di jalan Allah orang-orang yang mengurangi kamu, (tetapi) janganlah kamu
melampaui batas, Karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas.”
Ayat tersebut menjelaskan perintah menyerang kepada
orang-orang yang menyerang umat islam. Sepintas lalu, antara kedua ayat di atas
nampak seakan-akan tidak memiliki korelasi. Padahal sebenarnya terdapat kaitan
yang sangat erat antara keduanya. Ayat 189 surah Al-Baqarah di atas berbicara
mengenai soal waktu untuk melaksanakan ibadah haji, sedangkan ayat 190
berikutnya dalam surah yang sama, “pada dasarnya saat haji itu umat islam
dilarang menumpahkan darah (berperang), tetapi jika mereka diserang terlebih dahulu
oleh musuh, maka serangan-serangan musuh tersebut harus dibalas walau pada
musim haji.”
Munasabah dari segi
materinya dibagi menjadi 4, yaitu:
a.
Munasabah antara ayat dalam Al Qur’an yaitu hubungan
atau persesuaian antara ayat yang satu dengan ayat yang lain.
Di
atas telah dikemukakan, bahwa letak munasabah antara satu ayat dengan yang
lain, kadang-kadang terlihat jelas dan kadang-kadang tidak tampak jelas, ukuran
yang digunakan untuk mencari munasabah adalah dengan melihat sisi hubungan (‘athaf) baik langsung atau tidak
langsung.
Munasabah
ini bisa berbentuk persambungan-persambungan, sebagai berikut:
1. Di athafkannya ayat yang satu kepada ayat yang lain, seperti munasabah
antara ayat 103 surah Ali-Imran:
(Q.S. Ali-imran :103)
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ
وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ
بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ
شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ
اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Artinya: “Dan
beperanglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai,”
Dengan
ayat 102 surah Ali-Imran:
(Q.S.
Ali-Imran :102)
ا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا
تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu
mati melainkan dalam keadaan beragama islam.”
Faedah dari munabasah dengan
‘athaf ini ialah untuk menjadikan dua ayat tersebut
sebagai dua hal yang sama (An-Nadziiraini).
Ayat 102 surah Ali-Imran menyuruh bertaqwa dan ayat 103 surah Ali-Imran
menyuruh berpegang teguh kepada agama Allah, dua hal yang sama.
2. Tidak di ‘athafkannya ayat yang satu kepada yang
lain, seperti munasabah antara ayat 11 surah Ali-Imran:
(Q.S. Ali-Imran :11)
كَدَأْبِ آلِ فِرْعَوْنَ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۚ كَذَّبُوا
بِآيَاتِنَا فَأَخَذَهُمُ اللَّهُ بِذُنُوبِهِمْ ۗ وَاللَّهُ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya: “(keadaan mereka) adalah sebagai keadaan
kaum Fir’aun dan orang-orang yang sebelumnya, mereka ayat-ayat kami,”
Dengan ayat 10 surah Ali-Imran:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَنْ تُغْنِيَ عَنْهُمْ أَمْوَالُهُمْ وَلَا
أَوْلَادُهُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمْ وَقُودُ النَّارِ
Artinya: “sesungguhnya
orang-orang yang kafir, harta benda dan anak-anak mereka, sedikitpun tidak
dapat menolak (siksa) Allah dari mereka. Dan mereka itu adalah bahan bakar api
neraka,”
Dalam munasabah ini, tampak hubungan
yang kuat antara ayat yang kedua (ayat 11 surah Ali-Imran) dengan ayat yang
sebelumnya (ayat 10 surah Ali-Imran), sehingga ayat 11 surah
Ali-Imran itu dianggap sebagai bagian kelanjutan dari ayat 10 surah Ali-Imran.
3.
Digabungkannya
dua hal yang sama, seperti persambungan antara ayat 5 surah Al-Anfal:
(Q.S. Al-Anfal :5)
كَمَا أَخْرَجَكَ رَبُّكَ مِنْ بَيْتِكَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ فَرِيقًا
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ لَكَارِهُونَ
Artinya: “sebagaimana
Tuhanmu menyuruhmu pergi dan rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya
sebagain dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya,”
Dengan ayat 4 surah Al-Anfal:
(Q.S. Al-Anfal :4)
أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا ۚ لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ
رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
Artinya: “itulah
orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya, mereka akan memperoleh
beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat)
yang mulia.”
Kedua ayat itu sama-sama menerangkan
tentang kebenaran, ayat 5 surah Al-Anfal itu menerangkan kebenaran bahwa Nabi
diperintah hijrah dan ayat 4 surah Al-Anfal tersebut menerangkan kebenaran
status mereka sebagai kaum mukmin.
4.
Dikumpulkannya dua hal yang kontradiksi (Al-Mutashaddatu). Seperti dikumpulkannya ayat 95 surah Al-A’raf:
(Q.S. Al-A’raf :95)
ثُمَّ بَدَّلْنَا مَكَانَ السَّيِّئَةِ الْحَسَنَةَ حَتَّىٰ عَفَوْا
وَقَالُوا قَدْ مَسَّ آبَاءَنَا الضَّرَّاءُ وَالسَّرَّاءُ فَأَخَذْنَاهُمْ
بَغْتَةً وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ
Artinya: “kemudian
kami ganti kesusahan itu dengan kesenangan hingga keturunan dan harta mereka
bertambah banyak, dan mereka berkata: “Sesungguhnya nenek moyang kamipun telah
merasai penderitaan dan kesenangan.”
Dengan ayat 94 surah Al-A’raf:
(Q.S.
Al-A’raf :94)
وَمَا
أَرْسَلْنَا فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا أَخَذْنَا أَهْلَهَا بِالْبَأْسَاءِ
وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَضَّرَّعُونَ
Artinya:
“kami tidaklah mengutus seseorang nabipun
kepada sesuatu negeri, (lalu penduduknya mendustakan nabi itu), melainkan kami
timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya mereka tunduk
dengan merendahkan diri”.
Ayat 94 surah Al-A’raf tersebut menerangkan
ditimpakannya kesempitan dan penderitaan kepada penduduk, tetapi ayat 95 surah
Al-A’raf menjelaskan kesusahan dan kesempitan itu diganti dengan kesenangan.
5. Dipindahkannya satu
pembicaraan ayat 55 surah Shaad:
(Q.S.
Shaad :55)
ہٰذَا ؕ وَ اِنَّ لِلطّٰغِیۡنَ لَشَرَّ مَاٰبٍ
Artinya: “Beginilah (keadaan mereka), dan
sesungguhnya bagi orang-orang yang durhaka benar-benar (disediakan) tempat
kembali yang buruk"
Dialihkan pembicaraan
kepada nasib orang-orang yang durhaka yang benar-benar akan kembali ke tempat
yang buruk sekali, dan pembicaraan ayat 54 surah Shaad yang membicarakan rezeki
dari para ahli surga:
(Q.S. Shaad :54)
إِنَّ هَٰذَا لَرِزْقُنَا مَا لَهُ مِنْ نَفَادٍ
Artinya: “sesungguhnya
ini adalah benar-benar rezki dari kami yang tiada habis-habisnya.”
b. Munasabah antar surah,
yaitu munasabah antara surah yang satu dengan yang surah yang lain. Munasabah
ini ada beberapa bentuk, sebagai berikut:
1. Munasabah antara dua
surah dalam soal materinya, yaitu materi surah yang satu dengan materi surah
yang lain.
Contohnya,
seperti surah kedua Al-Baqarah sama dengan isi surah yang pertama Al-Fatihah.
Keduanya sama-sama menerangkan kandungan Al-Qur’an, yaitu masalah akidah,
ibadah, muamalah, kisah dan janji serta ancaman. Dalam surah Al-Fatihah semua
itu diterangkan secara ringkas, sedang dalam surah Al-Baqarah dijelaskan dan
dirinci secara panjang lebar.
2. Persesuaian antara permulaan
surah dengan penutupan surah sebelumnya.
Sebab semua pembukaan surah itu erat
sekali kaitannya dengan akhiran surah sebelumnya, sekalipun sudah dipisah
dengan basmallah.
Contohnya, seperti
awalan dari surah Al-An’am yang berbunyi:
(Q.S.
Al-An’am :1)
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ
Artinya: “Segala
puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi...”
Awalan surah Al-An’am tersebut sesuai dengan akhiran
surah Al-Maidah yang berbunyi:
(Q.S. Al-Maidah :120)
لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا فِيهِنَّ ۚ وَهُوَ
عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya: “Kepunyaan
Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan dia Maha
Kuasa atas segala sesuatu.”
3. Munasabah terjadi pula
antara awal surah dengan akhir surah.
Contohnya ialah apa yang terdapat dalam
surah Qasas. Surah ini dimulai dengan menceritakan Musa, menjalankan langkah
awal dan pertolongan yang di perolehnya; kemudian menceritakan perlakuannya
ketika ia mendapatkan dua orang laki-laki sedang berkelahi. Allah mengisahkan
doa Musa:
(Q.S. Al-Qasas :17)
قَالَ رَبِّ بِمَا أَنْعَمْتَ عَلَيَّ فَلَنْ أَكُونَ ظَهِيرًا
لِلْمُجْرِمِينَ
Artinya: “Musa
berkata: “Ya Tuhanku, demi nikmat yang telah Engkau anugerah-kan kepadaku, aku
sekali-kali tiada akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa.”
Kemudian surah ini diakhiri dengan
menghibur Rasul bahwa ia akan keluar dari Mekah dan dijanjikan akan kembali
lagi ke Mekah serta melarangnya menjadi penolong bagi orang-orang kafir.
(Q.S.
Al-Qasas :85-86)
إِنَّ الَّذِي
فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرَادُّكَ إِلَى مَعَادٍ قُل رَّبِّي أَعْلَمُ مَن
جَاء بِالْهُدَى وَمَنْ هُوَ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ﴿٨٥﴾وَمَا كُنتَ تَرْجُو أَن
يُلْقَى إِلَيْكَ الْكِتَابُ إِلَّا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ
ظَهِيرًا لِّلْكَافِرِينَ﴿٨٦﴾
Artinya: “Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu
(melaksanakan hukum-hukum) Al Qur’an, benar-benar akan mengembalikan kamu ke
tempat kembali. Katakanlah: “Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunujuk
dan orang yang dalam kesesatan yang nyata. Dan kamu tidak pernah mengharap agar
Al Qur’an diturunkan kepadamu, tetapi ia (diturunkan) Karena suatu rahmat yang
besar dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu menjadi penolong bagi
orang-orang kafir"
c.
Munasabah antara nama surat dengan kandungannya.
Nama-nama surat yang ada di dalam Al
Qur’an memiliki kaitan dengan pembahasan yang ada pada isi surat. Contohnya
adalah surat Al-Fatihah disebut juga umm
al-kitab karena memuat berbagai tujuan Al Qur’an.
d. Munasabah antara
penutup ayat dengan isi ayat
Munasabah
disini bertujuan:
1.
Tamkin (peneguhan). Misalnya:
(Q.S. Al-Ahzab :25)
وَرَدَّ اللَّهُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِغَيْظِهِمْ لَمْ يَنَالُوا
خَيْرًا ۚ وَكَفَى اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ الْقِتَالَ ۚ وَكَانَ اللَّهُ قَوِيًّا
عَزِيزًا
Artinya: “Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir
itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan
apapun. Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. Dan Allah
maha kuat lagi maha perkasa.”
Sekiranya ayat
ini terhenti pada, “Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari
peperangan,” niscaya maknanya bisa di pahami orang-orang lemah sejalan dengan
pendapat orang-orang kafir yang mengira bahwa mereka mundur dari perang karena
angin yang kebetulan bertiup. Padahal bertiupnya angin bukan suatu yang
kebetulan, tetapi atas rencana Allah menghalalkan musuh-musuh-Nya dan musuh
kaum muslimin. Karena itu, ayat ini ditiup dengan mengingatkan kekuatan dan
kegagahan Allah SWT menolong kaum muslimin.
2.
Tashdir (pengembalian).
Misalnya:
(Q.S. Al-An’am :31)
عَلَىٰ مَا فَرَّطْنَا فِيهَا وَهُمْ يَحْمِلُونَ أَوْزَارَهُمْ
عَلَىٰ ظُهُورِهِمْ ۚ أَلَا سَاءَ مَا يَزِرُونَ
Artinya: “...Sambil
mereka memikul dosa-dosa di atas punggungnya. Ingatlah, amat buruklah apa yang
mereka pikul itu.”
Ayat ini ditutup dengan kata untuk membuatnya
sejenis dengan kata untuk membuatnya sejenis dengan kata dalam ayat tersebut.
3.
Tausyih (hikmah). Misalnya:
(Q.S. Yasin :37)
وَآيَةٌ لَهُمُ اللَّيْلُ نَسْلَخُ مِنْهُ النَّهَارَ فَإِذَا هُمْ
مُظْلِمُونَ
Artinya: “Dan
suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar)
bagi mereka adalah malam; kami tanggalkan siang dari malam itu, Maka
dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan.
Dalam permulaan ayat ini terkandung
penutupnya. Sebab, dengan hilangnya siang akan timbul kegelapan. Ini berarti
bahwa kandungan awal ayat telah menunjukkan adanya hikmah dibalik kajadian
tersebut.
4.
Ighal (penjelasan
tambahan dan penjamaan makna). Misalnya:
(Q.S. Al-Naml :80)
إِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَىٰ وَلَا تُسْمِعُ الصُّمَّ الدُّعَاءَ
إِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِينَ
Artinya: “Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati
mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar
panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang.
Kandungan ayat
ini sebenarnya sudah jelas sampai kata al-du’a (panggilan). Akan tetapi, untuk
lebih mempertajam dan mempertandas makna, ayat itu diberikan sambungan lagi
sebagai penjelas tambahan. [4]
D.
KEDUDUKAN MUNASABAH DALAM MENAFSIRKAN AL-QURÁN
Al-Quran adalah kitab suci umat islam yang berfungsi sebagai hidayah
atau petunjuk dalam kehidupan manusia, Al quran adalah satu kesatuan yang
memiliki keserasian (munasabah), Ilmu munasabah bertolak dari fakta bahwa
susunan ayat dan tertib surat demi surah alquran sebagaimana yang terdapat
dalam mushaf sekarang( mushaf utsmani atau yang lebih dikenal dengan mushaf al
imam), tidak didasarkan fakta kronologis. Kronologis turunnya ayat alquran
tidak diawali oleh surah al fatihah melainkan diawali oleh surah al alaq
sedangkan pada zaman sekarang alquran diawali oleh surah alfatihah.
Menurut Dr.
Hasani, Alquran diidealisasikan sebagai nilai sakral, sementara itu realitas
sosial yang harus dibimbingnya sangat pragmatis ,rasional dan matrealistis,
oleh karena itu seolah-olah nilai-nilai alquran dihadapkan dengan realitas
sosial, oleh karena itu perlu ada tafsir untuk menjelaskan, mengungkap, dan
memahami kandungan dalam alquran.
Dr. Hasani
mengatakan ilmu munasabah erat kaitannya dengan latar belakang diskursus
kedudukan tartib al-mushhaf (penyusunan surah-surah dalam mushaf)
Ilmu munasabah
ini melahirkan pro dan kontra, dalam buku ini secara garis besar Dr. hasani
membagi menjadi dua aliran mengenai perdebatan menyoal munasabah.
Pertama pihak
yang menyatakan bahwa memastikan adanya pertalian erat antara surat dan surat
sehingga perlu adanya munasabah, menurut kelompok ini munasabah adalah ilmu
yang menjelaskan persyaratan baiknya kaitan pembicaraan dan akhir pembicaraan
yang tersusun menjadi satu kesatuan,
Kedua, golongan
ini berpendapat bahwa tidak perlu adanya munasabah karna peristiwanya saling
berlainan, ada dua alasan 1) alquran diturunkan dan diberi hikmah secara
tauqifi karena hal ini atas petunjuk dan kehendak Allah , 2) satu kalimat Dr.
Hasani dalam penelitiaannya
menemukan bentuk munasabah dalam Tafsir
Al-mishbah, dalam tafsir tersebut ditemukan dua macam munasabah yaitu
munasabah ayat dan munasabah surah, dalam dua macam munasabah tersebut terdapat
beberapa macam munasabah lagi sehingga jumlahnya menjadi tiga belas.
Al-Zarkasyi
(745-794 H), mengenalkan dua pola munasabah,yaitu : 1) pola munasabah
antarsurah tentang pembuka surah dengan akhir surah sebelumnya,contoh surah al
anam diawali dengan pujian bagi Allah swt sementara pada akhir surat sebelumnya
diakhiri dengan mengagungkan Allah, 2) pola munasabah antarayat, ada tiga
analisis yaitu, kalimat nersambung (ma’thufah) , sisipan (istithrad) , dan
perumpamaan (tamtsil)
Dr. hasani
mengatakan bahwa ilmu munasabah bisa jadi berperan menggatikan ilmu asbab
al-nuzul apabila seseorang tidak mengetahui sebab turunnya suatu ayat,
tetapi mengetahui korelasi ayat dengan ayat yang lainnya.
“Kemukjizatan
alquran dalam sisi munasabah dapat dilihat dari keadaan ayat yang diturunkan
dalam waktu dan situasi yang berbeda,dalam alquran dikenal dengan surah atau
ayat yang diturunkan dimekkah, tetapi didalamnya terdapat surat yang diturunkan
dimadinah ,akan tetapi setelah ayat-ayat tersebut disandingkan dengan ayat
berikutnya ,ternyata memiliki keserasian, dengan demikian ilmu munasabah
menyumbang satu mukjizat sari sekian banyak mukjizat alquran” kata Dr. Ahsin
sakho Muhammad M.A.[5]
E. MANFAAT MEMPELAJARI MUNASABAH
Secara umum, ada empat hal yang
menunjukkan manfaat dan pentingnya kajian Munasabah dalam Al Qur’an:
1.
Mengetahui
kolerasi antara ayat dengan ayat atau surah dengan surah, untuk membuktikan
bahwa Al Qur’an merupakan satu kesatuan
yang utuh,tersusun secara sistematis dan berkesinambungan, walaupun diturunkan
secara terpisah-pisah dalam rentang waktu sekitar 23 tahun. Hal ini memperkuat
keyakinan bahwa Al Qur’an merupakan mukjizat dari Allah Saw.
2. Munasabah
memperlihatkan keserasian susunan redaksi ayat-ayat maupun kalimat-kalimat Al
Qur’an, sehingga keindahannya dapat dirasakan sebagaihal yang sangat luar biasa
bagi orang yang memiliki dhauq ‘araby.
3. Mengetahui
persambungan atau hubungan antara bagian Al Qur’an, baik antara kalimat-kalimat
atau ayat-ayat maupun surah-surahnya yang satu dengan yang lain, sehingga lebih
memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al Qur’an dan memperkuat
keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizannya.
4. Ilmu
munasabah akan sangat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an, setelah
diketahui hubungan sesuatu kalimat atau sesuatu ayat dengan dengan kalimat atau
ayat ayat yang tidak memiliki sabab an-nuzul, sehingga sangat
mempermudah pengistimbatan hukum-hukum atau isi kandungannya. [6]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Al-Qur’an adalah firman Allah, sudah
dipastikan bahwa kalimat-kalimat dalam setiap ayat, dan ayat-ayat dalam setiap
surah adalah pernyataan yang paling sempurna. Maka benar kalau Al Qur’an
disebut sebagai mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Al Qur’an,
adalah kalamullah, semua kandungannya
pasti benar, dan keindahannya tak tertandingi, maka seluruh susunan di dalamnya
pasti teratur, serasi dan saling berpadu bagian-bagiannya.
Kata Munasabah secara
etimologi, menurut asy-Suyuthi berarti al-Musyakallah
(keserupaan) dan muqarabah (kedekatan).
Kata “munasabah” sering dipakai dalam
tiga pengertian. Pertama, kata ini di pakai dengan makna musyakallah atau muqarabah (dekat).
Jika dikatakan fulan yunasibu fulanan, maka
hal itu berarti yuqaribu minhu wa
susyakiluhu (proses dekat atau hampirnya seseorang kepada orang lain. Kata munasabah juga diartikan dengan al- nasib (kerabat atau sanak keluarga).
Sejarah
munculnya ilmu munasabah dan juga bagaimana hubungan munasabah dalam
kajian ‘ulum Alquran sebelum membahas bagaimana penerapan munasabah
dalam Tafsir Al-Misbah. Berbicara tentang tradisi siapa yang pertama kali
memperkenalkan ilmu munasabah sebagai satu dari cabang ‘ulum Alquran
adalah menurut Al-Syarahbani, sebagaimana dikutib Al-Suyuthi bahwa seorang yang
pertama mengenalkan studi munasabah dalam menfasirkan Alquran adalah Abu Bakar
Abu Al-Qasim Al-Naisaburi (w.324). (lihat halaman 28, Buku Diskursus Munasabah
Alquran Dalam Tafsir Al-Misbah).
Dari segi materinya, munasabah terbagi menjadi 4,
yaitu: (a) Munasabah antara ayat dalam Al Qur’an. (b) Munasabah antar surah (c)
Munasabah antara nama surat dengan kandungannya. (d)
Munasabah antara penutup ayat dengan isi ayat.
Kegunaan
mempelajari ilmu munasabah sebagai berikut: (a) Dapat mengembangkan sementara anggapan
orang yang menganggap bahwa tema-tema Alquran kehilangan relevansi antara satu
bagian dengan bagian lainnya. (b) Mengetahui persambungan atau hubungan antara bagian
Alquran, baik antara kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun surat-suratnya yang
satu dengan yang lain, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan
terhadap Alquran dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan
kemukjizatannya. (c) Dapat
diketahui mutu dan tingkat kebalghahan bahasa Alquran dan konteks
kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya, serta persesuaian ayat/surat
yang satu dengan yang lainnya. (d) Dapat membantu dalam menafsirkan Alquran setelah
diketahui hubungan suatu kalimat atau ayat dengan kalimat atau ayat dengan yang
lain. Inilah al-Qur’an yang mutlak firman
Allah. Keserasian ayat-ayatnya makin menegaskan bahwa ia tidak tercampurkan
tangan-tangan manusia hatta ataupun manusia sekelas Nabi.
Al-Quran adalah kitab suci umat islam yang berfungsi sebagai hidayah
atau petunjuk dalam kehidupan manusia, Al quran adalah satu kesatuan yang
memiliki keserasian (munasabah), Ilmu munasabah bertolak dari fakta bahwa
susunan ayat dan tertib surat demi surah alquran sebagaimana yang terdapat
dalam mushaf sekarang( mushaf utsmani atau yang lebih dikenal dengan mushaf al
imam), tidak didasarkan fakta kronologis. Kronologis turunnya ayat alquran
tidak diawali oleh surah al fatihah melainkan diawali oleh surah al alaq
sedangkan pada zaman sekarang alquran diawali oleh surah alfatihah.
DAFTAR PUSTAKA
Humaira,
Syifa. 2019. Ilmu Munasabah. Tanggal Akses 11 Maret 2020. URL : https://www.academia.edu/41456346/Ilmu_Munasabah
Putra, Septian. 14 November 2015. Pentingnya Munasabah dalam
Menafsirkan dan Memahami Al-Qurán.Tanggal
Akses 12 Maret 2020. URL : https://www.kompasiana.com/septianputra/564707d5577b615c07db8878/pentingnya-munasabah-dalam-menafsirkan-dan-memahami-alquran?page=all
Salam,
Dayat. 9 November 2016. Perkembangan Tradisi Ilmu Munasabah dari Masa ke
Masa. Tanggal Akses 12 Maret 2020. URL : https://www.kompasiana.com/salam15/5823291eb37e618d2a467fb1/perkembangan-tradisi-ilmu-munasabah-dari-masa-ke-masa?page=all
Tidak ada komentar:
Posting Komentar