ASBABUNNUZUL
MAKALAH
Dibuat untuk memenuhi Salah satu tugas
terstruktur pada mata kuliah:
Ulumul Qur’an
Yang di ampu oleh : Dani Ramdani,
Disusun oleh :
Asep
Nurjaman
Sahrul
Mia
Mardiah
EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI ILMU
EKONOMI DAN BISNIS SYARI’AH
( NAHDLATUL ULAMA )GARUT
2020. M/ 1441.H
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an diturunkan untuk memberi petunjuk
kepada manusia ke arah tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan
menegakkan asas kehidupan yang didasarkan pada keimanan kepada Allah dan
risalah-Nya. Juga memberitahukan hal yang telah lalu, kejadian-kejadian yang
sekarang serta berita-berita yang akan datang.
Sebagian
besar Qur’an pada mulanya diturunkan untuk tujuan umum ini, tetapi kehidupan
para sahabat bersama Rasulullah telah menyaksikan banyak peristiwa sejarah,
bahkan kadang terjadi di antara mereka peristiwa khusus yang memerlukan penjelasan
hukum Allah atau masih kabur bagi mereka. Kemudian mereka bertanya kepada
Rasulullah untuk mengetahui hukum Islam mengenai hal itu. Maka Qur’an turun
untuk peristiwa khusus tadi atau untuk pertanyaan yang muncul itu. Hal seperti
itulah yang dinamakan Asbab An-Nuzul.
Asbab
An-Nuzul merupakan suatu aspek ilmu yang harus diketahui, dikaji dan diteliti
oleh para mufassirin atau orang-orang yang ingin memahami Al-Qur’an secara
mendalam.
Berdasarkan pemahaman para ahli
tafsir mengenai pentingnya mempelajari Asbab An-Nuzul maka ilmu ini perlu
dikembangkan untuk dipahami oleh umat manusia. Bahkan sekarang Asbab An-Nuzul
telah dijadikan salah satu kajian dalam
‘Ulumul Qur’an.
BAB
1I
PEMBAHASAN
A. Pengertian Asbab an-nuzul
Secara
etimologis, asbab an-Nuzul
terdiri dari dua kata: asbab (jamak
dari sabab yang berarti sebab atau latar belakang) dan nuzul berarti turun. Secara
terminologis, M. Hasbi ash-shiddieqi mengartikan asbab an-nuzul sebagai kejadian yang karenanya diturunkan Alqur’an
untuk menerangkan hukumnya pada saat kejadian-kejadian itu timbul dan suasana
yang ada di dalamnya Alqur’an diturunkan, serta membicarakan sebab-musababnya,
baik yang diturunkan secara langsung sesudah sebab-musabab itu terjadi maupun terkemudian
lantaran suatu hikmah.
Nurcholis Madjid menyatakan bahwa asbab
an-nuzul merupakan konsep, teori, atau berita tentang adanya sebab-sebab
turunnya wahyu tertentu dari Alqur’an kepada Nabi Muhammad Saw., baik berupa
satu ayat, satu rangkaian ayat, maupun satu surat. Subhi shalih menyatakan
bahwa asbab an-nuzul itu sangat
berkaitan erat dengan erat dengan sesuatu yang menjadi sebab turunnya sebuah
ayat sebagai jawaban, atau sebagai penjelasan yang diturunkan pada waktu
terjadinya sebuah peristiwa. Az-Zarqani berpendapat bahwa asbab an-nuzul adalah keterangan tentang ayat atau rangkaian ayat
yang berisi tentang sebab-sebab turunnya atau menjelaskan hukum suatu kasus
pada waktu kejadiannya.
Berdasarkan pengertian yang telah di kemukakan oleh para ahli di atas
dapat ditarik dua kategori mengenai sebab turunnya sebuah ayat. Pertama, sebuah ayat turun ketika
terjadi sebuah peristiwa sebagaimana yang di riwayatkan oleh Ibn Abbas tentang
perintah Allah kepada Nabi saw, untuk memperingatkan kerabat dekatnya. Lalu,
nabi saw. Naik ke bukit shafa dan memperingatkan kaum kerabatnya akan azab yang
pedih. Ketika itu, Abu lahab berkata: “Celakalah engkau! Apakah engkau
mengumpulkan kami hanya untuk urusan ini? Lalu, ia berdiri, dan turunlah surat
al-Lahab”[1]
Kedua
sebuah ayat turun apabila Rasulullah Saw.ditanya tentang sesuatu hal. Untuk
menjawab pertanyaan itu, turunlah ayat Alqur’an yang menerangkan hukumnya
seperti pengaduan Khaulah binti Tsa’labah kepada Nabi Saw.berkenaan dengan zihar yang dijatuhkan suaminya, Aus bin
Samit. Padahal, saat itu, Khaulah binti Tsa’labah telah menghabiskan masa
mudanya dan sering melahirkan karenanya. Ketika suaminya men-zihar dirinya saat sudah berusia tua dan
tidak bias melahirkan lagi, ia pun protes. Lalu, mengajukan pertanyaan kepada
Rasulullah Saw.tentang kasus yang menimpanya. Kemudian, turunlah ayat “sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan
perempuan yang mengadu padamu tentang suaminya”, yakni Aus bin Samit.
B. Redaksi Asbab an-Nuzul dan Makna
Asbab
an-nuzul mempunyai beberapa redaksi dan makna. Pertama, berupa pernyataan yang tegas dan jelas dengan menggunakan
kata sabab, seprti sababu nuzulil ayah kadza; menggunakan fa’ ta’qibiyah yang bersambung dengan
lafadz nuzul seperti ungkapan “… fa anzalallahu…”;
tidak menggunakan kata sabab dan fa’ ta’qibiyah tetapi, dapat dipahami
sebagai sebab dalam konteks jawaban atas sebuah pertanyaan yang diajukan kepada
Rasulullah Saw., seperti hadits riwayat Ibn Mas’ud ketika Nabi Saw.ditanya
tentang ruh.
Kedua,
berupa pernyataan yang tidak tegas dan jelas seperti ungkapan “nuzilat hadzihil ayatu fi kadza, ahsibu
hadzihil ayat nuzilat fi kadza”, atau “ma
ahsibu hadzihil ayat nuzilat fi kadza”. Redaksi semacam ini bisa jadi
merupakan penjelasan hukum ayat yang dimaksud. Dengan pernyataan itu dan
pernyataan selanjutnya, sorang perawi tidak bisa memastikannya sebagai asbab an-nuzul. Redaksi kaliat tersebut
mengandung kemungkinan bahwa ia menunjukan asbab an-nuzul dan hal lainnya.
Pendapat yang senada itu dikemukakan oleh ibnu taimiyah, sementara az-Zarkasi
menyatakan bahwa persoalan itu harus sesuai berdasarkan kebiasaan sahabat dan
tabi’in. Bila salah seorang diantaramereka menggunakan lafal yang tidak jelas
seperti itu menunjukkan kandungan hukum, bukan sebab turunnya ayat, hal itu
merupakan jenis pengambilan dalil (istidlal) terhadap suatu ayat, bukan
periwayatan suatu peristiwa[2]
Jika ada dua redaksi menunjuk pada satu objek persoalan, redaksi yang
tegaslah yang harus menjadi pegangan. Alasanyya, redaksi yang tegas tentu saja
lebih kuat daripada redaksi yang masih mengandung berbagai kemungkinan.
Misalnya Riwayat muslim dari jabir tentang asbab an-nuzul surat al-Baqarah (2)
ayat 223 dan riwayat bukhari dari Ibnu Umar. Riwayat jabir diyakini sebagai
asbab an-nuzul karena bentuk redaksinya lebih tegas dengan menggunakan fa’ta’qibiyah, yakni pada kalimat fa anzalallahu, sedangkan riwayat dari
Ibnu Umar dianggap sebagai penjelasannya,
C. Berbilangnya Asbab an-nuzul Ayat
Pada kenyataannya menunjukan bahwa
asbabunnuzul atau sebuah ayat. Ulama hadis memiliki beberapa alternatif untuk
menentukan riwayat-riwayat yang diterimanya sebagai penjelasan tentang
asbabunuzul ayat itu adalah :
a. Bila
salah satu diantara riwayat-riwayat itu bernilai shahih, sedangkan lainnya
tidak, riwayat yang bernilai shahih-lah yang diterima sebagai keterangan
tentang asbabunnuzul
b. Bila
dua riwayat atau lebih sama-sama shahih, dilakukan tarjih terhadap riwayat itu.
Pen-tarjih an itu dilakukan dengan mengambil hadis yang lebih tinggi tingkat
atau keshahihannya atau hadis yang perawinya mengalami dan melihat langsung
peristiwanya. Misalnya, riwayat Bukhari dari Ibnu mas’ud dengan riwayat
at-Tirmidzi dari Ibnu Abbas tentang masalah ruh pada surat al-isro ‘, 17:85.
Riwayat yang berasal dari Ibnu mas’ud
dipandang sebagai asbabunnuzul karena
Ibnu mas’ud hadir dan melihat ketika peristiwa itu berlangsung, sedangkan dari
Ibnu Abbas tidak di pandang kuat. Manna al-Qaththan menjelaskan bahwa jika
benar ayat itu Makiyyah dan diturunkan sebagai jawaban atas sebuah pertanyaan,
pengulangan pertanyaan yang sama di Madinah tidak memerlukan penurunan wahyu
untuk kedua kalinya. Tujuan utamanya adalah agar Rasulullah Saw, menjawab
pertanyaan tersebut dengan ayat yang diturunkan sebelumnya.
c. Bila
dua riwayat atau lebih sama-sama shahih dan tidak bisa di tarjih, kedua riwayat
harus di kompromikan. Misalnya, riwayat Bukhari melalui jalur “Ikrimah” dari
Ibnu Abbas tentang li’am ( menuduh istri berbuat zina tanpa mengajukan empat
saksi yang kuat ) ayat tersebut terdapat dalam surat an-Nur (24) ayat 6-9. Jika
dibandingkan dengan riwayat Bukhari muslim dari sahl bin sa’ad, kedua riwayat [3]sama-sama
shahih dan sangat sulit dilakukan tarjih. Langkah terbaik adalah dengan
mengompromikan kedua riwayat itu. Peristiwa yang sama terjadi terjadi ketika
peristiwa Hilal terjadi dan kebetulan Uwainir mengalami kejadian serupa, ayat
di atas diturunkan sebagai jawaban atas persoalan mereka. Menurut az-Zarqani,
tidak ada keraguan apapun untuk menempuh jalan kompromi tentang persoalan ini.
Bahkan lebih utamadilakukan kompromi daripada menolak salah satunya karena
tidak ada halangan untuk memkompromikannya.
d.
Bila ada riwayat
atau lebih yang sama-sama shahih, kemudian sangat sulit untuk di tarjih juga
sulit untuk di kompromikan karena jarak waktu asbab an-nuzul dari ayat tersebut
sangat berjauhan, peristiwa itu dipandang asbab an-nuzul dan nuzul ayat itu
berulang. Namun, manna al-Qaththan berpendapat bahwa perulangan turun sebuah
ayat tidak begitu jelas hikmahnya. Karena itu, ia lebih menekankan pada upaya
pen-tarjih-an. Misalnya, riwayat Baihaqi dan al-Bazzar dari Abu Hurairah
tentang asbab an-nuzul surat an-Nahl (16) ayat 126-128 bahwa ayat-ayat itu
turun pada waktu Perang Uhud. Sebaliknya, menurut riwayat at-Tirmidzi dan Hakim
dari Ubay bin Ka’ab, ayat-ayat itu turun pada waktu penaklukan kota mekkah
(Fathu Makkah). Karena kedua riwayat itu tidak bisa dikompromikan karena
masanya berjauhan dinyatakan bahwa ayat-ayat itu sekali waktu turun pada waktu
Perang Uhud dan waktu lainnya turun ketika Fathu Makkah.
D. Kedudukan
asbab An-nuzul dalam pemahaman Al-qur’an
Mengetahui sebab-sebab
turunnya ayat mempunyai peran yang sangat signifikan dalam memahami Al-Qur’an. Di antara fungsi dan
manfaatnya adalah mengetahui hikmah ditetapkannya suatu hukum. Di samping itu,
mengetahui asbab al-nuzul merupakan cara atau metode yang paling akurat dan
kuat untuk memahami kandungan Al-Qur’an. Alasannya, dengan mengetahui sebab,
musabab atau akibat ditetapkannya suatu hukum akan diketahui dengan jelas.[4] Berikut
ini paparan dua kisah yang dapat dijadikan dasar bagi kita, betapa tanpa
mengetahui sebab-sebab turunnya ayat, banyak mufasir yang tergelincir dan tidak
dapat memahami makna dan maksud sebenarnya dari ayat-ayat Al-Quran.
Pertama, kisah Marwan ibn Al-Hakam.
Dalam sebuah hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim diceritakan bahwa Marwan
pernah membaca firman Allah SWT, yang artinya:”Janganlah sekali-kali kamu
menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan
dan suka dipuji atas perbuatan yang belum mereka kerjakan terlepas dari siksa.
Bagi mereka siksa yang pedih.” (QS. Ali Imran: 188)
Setelah membaca ayat
tersebut, Marwan berkata, “Seandainya benar setiap orang yang merasa gembira
dengan apa yang telah dikerjakannya dan suka dipuji atas apa yang belum
dilakukannya akan disiksa, maka semua orang juga akan disiksa.” Secara
tekstual, apa yang dipahami Marwan adalah benar. Namun, secara kontekstual
tidaklah demikian. Ibn ‘Abbas menjelaskan bahwa ayat tersebut sebetulnya turun
berkenaan dengan kebiasaan Ahl Al-Kitab (Yahudi dan Nasrani) dalam berbohong.
Yaitu, jika Nabi Muhammad SAW bertanya tentang sesuatu, mereka menjawab dengan
jawaban yang menyembunyikan kebenaran. Mereka seolah-olah telah memberi
jawaban, sekaligus mencari pujian dari Nabi dengan apa yang mereka lakukan.
(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Kedua, kisah ‘Utsman ibn Mazh’un dan
‘Amr ibn Ma’dikarib. Kedua sahabat ini menganggap bahwa minuman keras (khamar)
diperbolehkan dalam Islam. Mereka berdua berargumen dengan firman Allah SWT,
yang artinya:”Tidak ada dosa atas orang-orang yang beriman dan beramal saleh
mengenai apa yang telah mereka makan dahulu.” (QS. Al-Maidah: 93). Seandainya
mereka mengetahui sebab turunnya ayat tersebut, tentu tidak akan berpendapat
seperti itu. Sebab, ayat tersebut turun berkenaan dengan beberapa orang yang
mempertanyakan mengapa minuman keras diharamkan? Lantas, apabila khamar disebut
sebagai kotoran atau sesuatu yang keji (rijs), bagaimana dengan nasib para
syahid yang pernah meminumnya? Dalam konteks itulah, QS. Al-Maidah turun untuk
memberi jawaban. (HR. Imam Ahmad, Al-Nasai, dan yang lain).
Begitu juga dengan
firman Allah SWT yang artinya:”Maka ke arah mana saja kamu berpaling atau
menghadap, di sana ada Wajah Allah (Kiblat/ Ka’bah). (QS. Al-Baqarah: 115).
Seandainya sebab turun ayat tersebut tidak diketahui, pasti akan ada yang
berkata, “Secara tekstual, ayat tersebut menunjukkan bahwa orang yang melakukan
shalat tidak wajib menghadap kiblat, baik di rumah maupun di perjalanan.”
Pendapat seperti ini, tentu saja bertentangan dengan ijma’(konsensus para
ulama). Namun, apabila sebab turunnya diketahui, menjadi jelas bahwa ayat
tersebut turun berkenaan dengan pelaksanaan shalat sunnah di perjalanan
(safar). Selain itu, juga berkenaan dengan orang yang melakukan shalat
berdasarkan ijtihadnya, kemudian sadar bahwa dia telah keliru dalam berijtihad.
Asbab An-Nuzul memiliki kedudukan
(fungsi) yang penting dalam memahami/menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an,
sekurang-kurangnya untuk sejumlah ayat tertentu. Ada beberapa kegunaan yang
dapat dipetik dari mengetahui Asbab An-Nuzul, diantaranya:
a.
Mengetahui
sisi-sisi positif (hikmah) yang mendorong atas pensyari’atan hukum.
b.
Dalam
mengkhususkan hukum bagi siapa yang berpegang dengan kaidah:” bahwasanya
ungkapan (teks) Al-Qur’an itu didasarkan atas kekhususan sebab, dan
c.
Kenyataan
menunjukkan bahwa adakalanya lafal dalam ayat Al-Qur’an itu bersifat umum, dan
terkadang memerlukan pengkhususan yang pengkhususannya itu sendiri justru
terletak pada pengetahuan tentang sebab turun ayat itu.[5]
E. Kaidah-kaidah dengan Asbab An-Nuzul Penetapan Hukum
Dikaitkan
Ada sebuah persoalan
yang penting dalam pembahasan Asbab An-Nuzul, misalkan telah terjadi satu
peristiwa atau ada satu pertanyaan, kemudian satu ayat turun untuk memberikan
penjelasan atau jawabannya, tetapi ungkapan ayat tersebut menggunakan redaksu
‘amm (umum) hingga boleh jadi mempunyai cakupan yang lebih luas dan tidak
terbatas pada kasus pertanyaan itu, maka persoalannya Noyalah apakah ayat
tersebut harus dipahami dari keumuman lafah ataukah dari sebab khusus
(spesifik) itu. Dengan kata lain apakah ayat itu berlaku secara khusus ataukah
umum? Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat.
Dalam memahami makna
berbeda ayat al-Qur’an yang mengandung lafal umum dan dikaitkan dengan sebab
turunnya, para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan dasar pemahaman. Karena
itu, berkaitan dengan masalah ini ada dua kaidah yang bertolak belakang.
Kaidah
pertama menyatakan:
اْلعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ
لَا بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
“Penetapan
makna suatu ayat didasarkan pada bentuk umumnya lafazh (bunyi lafazh), bukan
sebabnya yang khusus”.
Kaidah
kedua menyatakan sebaliknya
اْلعِبْرَةُ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
لَا بِعُمُوْمِ اللَّفْظ
“Penetapan
makna suatu ayat didasarkan pada penyebabnya yang khusus (sebab nuzul), bukan
pada bentuk lafazhnya yang umum”.
Contoh
penerapan kaidah pertama: Firman Allah, Surat An-Nur ayat 6:
Artinya
: Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak
mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu
ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dia adalah
termasuk orang-orang yang benar. [Q.S. An-Nur: 6].
Jika
dilakukan pemahaman berdasarkan bentuk umumnya lafal terhadap surat An-Nur ayat
6 di atas, maka keharusan mengucapkan sumpah dengan nama Allah sebanyak empat
kali bahwa tuduhannya adalah benar, berlaku bagi siapa saja (suami) yang
menuduh isterinya berzina. Pemahaman yang demikian ini (berdasarkan umumnya
lafal) tidak bertentangan dengan ayat lain atau hadits atau ketentuan hukum
yang lainnya.
Contoh
penerapan kaidah kedua: Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 115: Dan
kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, maka ke mana pun kamu menghadap di
situ-lah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas Rahmat-Nya, lagi Maha
Mengetahui. (Al-Baqarah: 115).
Jika
dalam memahami ayat 115 ini kita terapkan kaidah pertama, maka dapat
disimpulkan, bahwa shalat dapat dilakukan dengan menghadap ke arah mana saja,
tanpa dibatasi oleh situasi dan kondisi di mana dan dalam keadaan bagaimana
kita shalat. Kesimpulan demikian ini bertentangan dengan dalil lain (ayat) yang
menyatakan, bahwa dalam melaksanakan shalat harus menghadap ke arah
Masjidil-Haram. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Alllah: Dan dari mana saja
kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.
Sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. dan Allah
sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan (Al-Baqarah: 149).
Akan
tetapi, jika dalam memahami Surat Al-Baqarah ayat 115 di atas dikaitkan dengan
Asbab An-Nuzulnya, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah, bahwa menghadap
ke arah mana saja dalam shalat adalah sah jika shalatnya dilakukan di atas
kendaraan yang
sedang
berjalan, atau dalam kondisi tidak mengetahui arah kiblat (Masjidil-Haram).
Dalam kasus ayat yang demikian ini pemahamannya harus didasarkan pada sebab
turunnya ayat yang bersifat khusus dan tidak boleh berpatokan pada bunyi lafazh
yang bersifat umum.
BAB
III
PENUTUP
F. Kesimpulan
Mempelajari Asbab
An-Nuzul sangat penting bagi yang ingin mengkaji ilmu tafsir, bahkan sebuah
kewajiban bagi ahli tafsir. Cara mengetahui Asbab An-Nuzul pertama, dengan
riwayat yang shahih, yakni riwayat yang memenuhi syarat-syarat yang telah
ditetapkan oleh para ahli hadits. Kedua, menggunakan lafadh fa at-ta’qibiyah
bermakna maka atau kemudian. Ketiga, dipahami dari konteks yang jelas. Keempat,
tidak disebutkan secara tegas terhadap redaksi. Ada ulama yang berpendapat
sebagai penjelasan tentang hukum.
Metode penelitian dan pentarjihan Asbab An-Nuzul harus
dilakukan penelitian terhadap riwayatnya, karena ada dua kategori dalam sebab
penurunannya. Pertama, banyak turun ayat pada satu peristiwa, sedangkan yang
kedua, banyak terjadi peristiwa pada satu ayat yang turun.
DAFTAR
PUSTAKA
[1]
Izzan, ahmad UlumulQur’an 2005 (
bandung:tafakur) hal : 177-178
2Izzan, ahmad Ulumul Qur’an 2005 ( bandung:tafakur ) hal :178-179
3Izzan, ahmad Ulumul Qur’an ( bandung:tafakur ) hal: 179-180
4Muhammad ibn ‘Alawi Al-Maliki, Samudra Ilmu-ilmu Al-Qur’an:
Ringkasan kitab Al-Itqan fi ‘Ulum
Al-Qur’an, (Bandung: Mizan Pustaka, 2003), hlm. 21-22.
5 Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 3,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), hlm. 111.
[1]
Izzan,
ahmad UlumulQur’an 2005 ( bandung:tafakur)
hal : 177-178
[2]
Izzan,
ahmad Ulumul Qur’an 2005 (
bandung:tafakur ) hal :178-179
[3]
Izzan,
ahmad Ulumul Qur’an (
bandung:tafakur ) hal: 179-180
[4]
Muhammad ibn ‘Alawi Al-Maliki, Samudra Ilmu-ilmu Al-Qur’an: Ringkasan
kitab Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Bandung: Mizan Pustaka, 2003), hlm.
21-22.
[5]
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 3, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2004), hlm. 111.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar