Minggu, 12 April 2020

Makalah Asbabun nujul karya Mahasiswa STIEBSNU Prodi Ekonomi Syariah



 ASBABUNNUZUL
MAKALAH
Dibuat untuk memenuhi Salah satu tugas terstruktur pada mata kuliah:
 Ulumul Qur’an
Yang di ampu oleh : Dani Ramdani,

Disusun oleh :
Asep Nurjaman
Sahrul
Mia Mardiah


EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI DAN BISNIS SYARI’AH
( NAHDLATUL ULAMA )GARUT

2020. M/ 1441.H





BAB I
PENDAHULUAN 
            Al-Qur’an diturunkan untuk memberi petunjuk kepada manusia ke arah tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan menegakkan asas kehidupan yang didasarkan pada keimanan kepada Allah dan risalah-Nya. Juga memberitahukan hal yang telah lalu, kejadian-kejadian yang sekarang serta berita-berita yang akan datang.
Sebagian besar Qur’an pada mulanya diturunkan untuk tujuan umum ini, tetapi kehidupan para sahabat bersama Rasulullah telah menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi di antara mereka peristiwa khusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah atau masih kabur bagi mereka. Kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah untuk mengetahui hukum Islam mengenai hal itu. Maka Qur’an turun untuk peristiwa khusus tadi atau untuk pertanyaan yang muncul itu. Hal seperti itulah yang dinamakan Asbab An-Nuzul.
Asbab An-Nuzul merupakan suatu aspek ilmu yang harus diketahui, dikaji dan diteliti oleh para mufassirin atau orang-orang yang ingin memahami Al-Qur’an secara mendalam.
            Berdasarkan pemahaman para ahli tafsir mengenai pentingnya mempelajari Asbab An-Nuzul maka ilmu ini perlu dikembangkan untuk dipahami oleh umat manusia. Bahkan sekarang Asbab An-Nuzul telah dijadikan salah satu kajian  dalam ‘Ulumul Qur’an.




BAB 1I
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Asbab an-nuzul
      Secara etimologis, asbab an-Nuzul  terdiri dari dua kata: asbab (jamak dari sabab yang berarti sebab atau latar belakang) dan nuzul berarti turun. Secara terminologis, M. Hasbi ash-shiddieqi mengartikan asbab an-nuzul sebagai kejadian yang karenanya diturunkan Alqur’an untuk menerangkan hukumnya pada saat kejadian-kejadian itu timbul dan suasana yang ada di dalamnya Alqur’an diturunkan, serta membicarakan sebab-musababnya, baik yang diturunkan secara langsung sesudah sebab-musabab itu terjadi maupun terkemudian lantaran suatu hikmah.
      Nurcholis Madjid menyatakan bahwa asbab an-nuzul merupakan konsep, teori, atau berita tentang adanya sebab-sebab turunnya wahyu tertentu dari Alqur’an kepada Nabi Muhammad Saw., baik berupa satu ayat, satu rangkaian ayat, maupun satu surat. Subhi shalih menyatakan bahwa asbab an-nuzul itu sangat berkaitan erat dengan erat dengan sesuatu yang menjadi sebab turunnya sebuah ayat sebagai jawaban, atau sebagai penjelasan yang diturunkan pada waktu terjadinya sebuah peristiwa. Az-Zarqani berpendapat bahwa asbab an-nuzul adalah keterangan tentang ayat atau rangkaian ayat yang berisi tentang sebab-sebab turunnya atau menjelaskan hukum suatu kasus pada waktu kejadiannya.
      Berdasarkan pengertian yang telah di kemukakan oleh para ahli di atas dapat ditarik dua kategori mengenai sebab turunnya sebuah ayat. Pertama, sebuah ayat turun ketika terjadi sebuah peristiwa sebagaimana yang di riwayatkan oleh Ibn Abbas tentang perintah Allah kepada Nabi saw, untuk memperingatkan kerabat dekatnya. Lalu, nabi saw. Naik ke bukit shafa dan memperingatkan kaum kerabatnya akan azab yang pedih. Ketika itu, Abu lahab berkata: “Celakalah engkau! Apakah engkau mengumpulkan kami hanya untuk urusan ini? Lalu, ia berdiri, dan turunlah surat al-Lahab”[1]
        Kedua sebuah ayat turun apabila Rasulullah Saw.ditanya tentang sesuatu hal. Untuk menjawab pertanyaan itu, turunlah ayat Alqur’an yang menerangkan hukumnya seperti pengaduan Khaulah binti Tsa’labah kepada Nabi Saw.berkenaan dengan zihar yang dijatuhkan suaminya, Aus bin Samit. Padahal, saat itu, Khaulah binti Tsa’labah telah menghabiskan masa mudanya dan sering melahirkan karenanya. Ketika suaminya men-zihar dirinya saat sudah berusia tua dan tidak bias melahirkan lagi, ia pun protes. Lalu, mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah Saw.tentang kasus yang menimpanya. Kemudian, turunlah ayat “sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengadu padamu tentang suaminya”, yakni Aus bin Samit.
B.     Redaksi Asbab an-Nuzul dan Makna
     Asbab an-nuzul mempunyai beberapa redaksi dan makna. Pertama, berupa pernyataan yang tegas dan jelas dengan menggunakan kata sabab, seprti sababu nuzulil ayah kadza; menggunakan fa’ ta’qibiyah yang bersambung dengan lafadz nuzul seperti ungkapan “… fa anzalallahu…”; tidak menggunakan kata sabab dan fa’ ta’qibiyah tetapi, dapat dipahami sebagai sebab dalam konteks jawaban atas sebuah pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah Saw., seperti hadits riwayat Ibn Mas’ud ketika Nabi Saw.ditanya tentang ruh.
      Kedua, berupa pernyataan yang tidak tegas dan jelas seperti ungkapan “nuzilat hadzihil ayatu fi kadza, ahsibu hadzihil ayat nuzilat fi kadza”, atau “ma ahsibu hadzihil ayat nuzilat fi kadza”. Redaksi semacam ini bisa jadi merupakan penjelasan hukum ayat yang dimaksud. Dengan pernyataan itu dan pernyataan selanjutnya, sorang perawi tidak bisa memastikannya sebagai asbab an-nuzul. Redaksi kaliat tersebut mengandung kemungkinan bahwa ia menunjukan asbab an-nuzul dan hal lainnya. Pendapat yang senada itu dikemukakan oleh ibnu taimiyah, sementara az-Zarkasi menyatakan bahwa persoalan itu harus sesuai berdasarkan kebiasaan sahabat dan tabi’in. Bila salah seorang diantaramereka menggunakan lafal yang tidak jelas seperti itu menunjukkan kandungan hukum, bukan sebab turunnya ayat, hal itu merupakan jenis pengambilan dalil (istidlal) terhadap suatu ayat, bukan periwayatan suatu peristiwa[2]
          Jika ada dua redaksi menunjuk pada satu objek persoalan, redaksi yang tegaslah yang harus menjadi pegangan. Alasanyya, redaksi yang tegas tentu saja lebih kuat daripada redaksi yang masih mengandung berbagai kemungkinan. Misalnya Riwayat muslim dari jabir tentang asbab an-nuzul surat al-Baqarah (2) ayat 223 dan riwayat bukhari dari Ibnu Umar. Riwayat jabir diyakini sebagai asbab an-nuzul karena bentuk redaksinya lebih tegas dengan menggunakan fa’ta’qibiyah, yakni pada kalimat fa anzalallahu, sedangkan riwayat dari Ibnu Umar dianggap sebagai penjelasannya,
C.  Berbilangnya Asbab an-nuzul Ayat
             Pada kenyataannya menunjukan bahwa asbabunnuzul atau sebuah ayat. Ulama hadis memiliki beberapa alternatif untuk menentukan riwayat-riwayat yang diterimanya sebagai penjelasan tentang asbabunuzul ayat itu adalah :
a.    Bila salah satu diantara riwayat-riwayat itu bernilai shahih, sedangkan lainnya tidak, riwayat yang bernilai shahih-lah yang diterima sebagai keterangan tentang asbabunnuzul
b.    Bila dua riwayat atau lebih sama-sama shahih, dilakukan tarjih terhadap riwayat itu. Pen-tarjih an itu dilakukan dengan mengambil hadis yang lebih tinggi tingkat atau keshahihannya atau hadis yang perawinya mengalami dan melihat langsung peristiwanya. Misalnya, riwayat Bukhari dari Ibnu mas’ud dengan riwayat at-Tirmidzi dari Ibnu Abbas tentang masalah ruh pada surat al-isro ‘, 17:85. Riwayat  yang berasal dari Ibnu mas’ud dipandang sebagai asbabunnuzul  karena Ibnu mas’ud hadir dan melihat ketika peristiwa itu berlangsung, sedangkan dari Ibnu Abbas tidak di pandang kuat. Manna al-Qaththan menjelaskan bahwa jika benar ayat itu Makiyyah dan diturunkan sebagai jawaban atas sebuah pertanyaan, pengulangan pertanyaan yang sama di Madinah tidak memerlukan penurunan wahyu untuk kedua kalinya. Tujuan utamanya adalah agar Rasulullah Saw, menjawab pertanyaan tersebut dengan ayat yang diturunkan sebelumnya.
c.       Bila dua riwayat atau lebih sama-sama shahih dan tidak bisa di tarjih, kedua riwayat harus di kompromikan. Misalnya, riwayat Bukhari melalui jalur “Ikrimah” dari Ibnu Abbas tentang li’am ( menuduh istri berbuat zina tanpa mengajukan empat saksi yang kuat ) ayat tersebut terdapat dalam surat an-Nur (24) ayat 6-9. Jika dibandingkan dengan riwayat Bukhari muslim dari sahl bin sa’ad, kedua riwayat [3]sama-sama shahih dan sangat sulit dilakukan tarjih. Langkah terbaik adalah dengan mengompromikan kedua riwayat itu. Peristiwa yang sama terjadi terjadi ketika peristiwa Hilal terjadi dan kebetulan Uwainir mengalami kejadian serupa, ayat di atas diturunkan sebagai jawaban atas persoalan mereka. Menurut az-Zarqani, tidak ada keraguan apapun untuk menempuh jalan kompromi tentang persoalan ini. Bahkan lebih utamadilakukan kompromi daripada menolak salah satunya karena tidak ada halangan untuk memkompromikannya.
d.      Bila ada riwayat atau lebih yang sama-sama shahih, kemudian sangat sulit untuk di tarjih juga sulit untuk di kompromikan karena jarak waktu asbab an-nuzul dari ayat tersebut sangat berjauhan, peristiwa itu dipandang asbab an-nuzul dan nuzul ayat itu berulang. Namun, manna al-Qaththan berpendapat bahwa perulangan turun sebuah ayat tidak begitu jelas hikmahnya. Karena itu, ia lebih menekankan pada upaya pen-tarjih-an. Misalnya, riwayat Baihaqi dan al-Bazzar dari Abu Hurairah tentang asbab an-nuzul surat an-Nahl (16) ayat 126-128 bahwa ayat-ayat itu turun pada waktu Perang Uhud. Sebaliknya, menurut riwayat at-Tirmidzi dan Hakim dari Ubay bin Ka’ab, ayat-ayat itu turun pada waktu penaklukan kota mekkah (Fathu Makkah). Karena kedua riwayat itu tidak bisa dikompromikan karena masanya berjauhan dinyatakan bahwa ayat-ayat itu sekali waktu turun pada waktu Perang Uhud dan waktu lainnya turun ketika Fathu Makkah.
D.     Kedudukan asbab An-nuzul dalam pemahaman Al-qur’an
                        Mengetahui sebab-sebab turunnya ayat mempunyai peran yang sangat signifikan dalam memahami Al-Qur’an. Di antara fungsi dan manfaatnya adalah mengetahui hikmah ditetapkannya suatu hukum. Di samping itu, mengetahui asbab al-nuzul merupakan cara atau metode yang paling akurat dan kuat untuk memahami kandungan Al-Qur’an. Alasannya, dengan mengetahui sebab, musabab atau akibat ditetapkannya suatu hukum akan diketahui dengan jelas.[4] Berikut ini paparan dua kisah yang dapat dijadikan dasar bagi kita, betapa tanpa mengetahui sebab-sebab turunnya ayat, banyak mufasir yang tergelincir dan tidak dapat memahami makna dan maksud sebenarnya dari ayat-ayat Al-Quran.
            Pertama, kisah Marwan ibn Al-Hakam. Dalam sebuah hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim diceritakan bahwa Marwan pernah membaca firman Allah SWT, yang artinya:”Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan suka dipuji atas perbuatan yang belum mereka kerjakan terlepas dari siksa. Bagi mereka siksa yang pedih.” (QS. Ali Imran: 188)
                        Setelah membaca ayat tersebut, Marwan berkata, “Seandainya benar setiap orang yang merasa gembira dengan apa yang telah dikerjakannya dan suka dipuji atas apa yang belum dilakukannya akan disiksa, maka semua orang juga akan disiksa.” Secara tekstual, apa yang dipahami Marwan adalah benar. Namun, secara kontekstual tidaklah demikian. Ibn ‘Abbas menjelaskan bahwa ayat tersebut sebetulnya turun berkenaan dengan kebiasaan Ahl Al-Kitab (Yahudi dan Nasrani) dalam berbohong. Yaitu, jika Nabi Muhammad SAW bertanya tentang sesuatu, mereka menjawab dengan jawaban yang menyembunyikan kebenaran. Mereka seolah-olah telah memberi jawaban, sekaligus mencari pujian dari Nabi dengan apa yang mereka lakukan. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
            Kedua, kisah ‘Utsman ibn Mazh’un dan ‘Amr ibn Ma’dikarib. Kedua sahabat ini menganggap bahwa minuman keras (khamar) diperbolehkan dalam Islam. Mereka berdua berargumen dengan firman Allah SWT, yang artinya:”Tidak ada dosa atas orang-orang yang beriman dan beramal saleh mengenai apa yang telah mereka makan dahulu.” (QS. Al-Maidah: 93). Seandainya mereka mengetahui sebab turunnya ayat tersebut, tentu tidak akan berpendapat seperti itu. Sebab, ayat tersebut turun berkenaan dengan beberapa orang yang mempertanyakan mengapa minuman keras diharamkan? Lantas, apabila khamar disebut sebagai kotoran atau sesuatu yang keji (rijs), bagaimana dengan nasib para syahid yang pernah meminumnya? Dalam konteks itulah, QS. Al-Maidah turun untuk memberi jawaban. (HR. Imam Ahmad, Al-Nasai, dan yang lain).
                        Begitu juga dengan firman Allah SWT yang artinya:”Maka ke arah mana saja kamu berpaling atau menghadap, di sana ada Wajah Allah (Kiblat/ Ka’bah). (QS. Al-Baqarah: 115). Seandainya sebab turun ayat tersebut tidak diketahui, pasti akan ada yang berkata, “Secara tekstual, ayat tersebut menunjukkan bahwa orang yang melakukan shalat tidak wajib menghadap kiblat, baik di rumah maupun di perjalanan.” Pendapat seperti ini, tentu saja bertentangan dengan ijma’(konsensus para ulama). Namun, apabila sebab turunnya diketahui, menjadi jelas bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan pelaksanaan shalat sunnah di perjalanan (safar). Selain itu, juga berkenaan dengan orang yang melakukan shalat berdasarkan ijtihadnya, kemudian sadar bahwa dia telah keliru dalam berijtihad.
            Asbab An-Nuzul memiliki kedudukan (fungsi) yang penting dalam memahami/menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an, sekurang-kurangnya untuk sejumlah ayat tertentu. Ada beberapa kegunaan yang dapat dipetik dari mengetahui Asbab An-Nuzul, diantaranya:
a.       Mengetahui sisi-sisi positif (hikmah) yang mendorong atas pensyari’atan hukum.
b.      Dalam mengkhususkan hukum bagi siapa yang berpegang dengan kaidah:” bahwasanya ungkapan (teks) Al-Qur’an itu didasarkan atas kekhususan sebab, dan
c.       Kenyataan menunjukkan bahwa adakalanya lafal dalam ayat Al-Qur’an itu bersifat umum, dan terkadang memerlukan pengkhususan yang pengkhususannya itu sendiri justru terletak pada pengetahuan tentang sebab turun ayat itu.[5]
E.       Kaidah-kaidah dengan Asbab An-Nuzul Penetapan Hukum Dikaitkan  
                        Ada sebuah persoalan yang penting dalam pembahasan Asbab An-Nuzul, misalkan telah terjadi satu peristiwa atau ada satu pertanyaan, kemudian satu ayat turun untuk memberikan penjelasan atau jawabannya, tetapi ungkapan ayat tersebut menggunakan redaksu ‘amm (umum) hingga boleh jadi mempunyai cakupan yang lebih luas dan tidak terbatas pada kasus pertanyaan itu, maka persoalannya Noyalah apakah ayat tersebut harus dipahami dari keumuman lafah ataukah dari sebab khusus (spesifik) itu. Dengan kata lain apakah ayat itu berlaku secara khusus ataukah umum? Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat.
                        Dalam memahami makna berbeda ayat al-Qur’an yang mengandung lafal umum dan dikaitkan dengan sebab turunnya, para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan dasar pemahaman. Karena itu, berkaitan dengan masalah ini ada dua kaidah yang bertolak belakang.
Kaidah pertama menyatakan:
اْلعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوْصِ السَّبَبِ                                                          
“Penetapan makna suatu ayat didasarkan pada bentuk umumnya lafazh (bunyi lafazh), bukan sebabnya yang khusus”.
Kaidah kedua menyatakan sebaliknya
اْلعِبْرَةُ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ لَا بِعُمُوْمِ اللَّفْظ                                                              
“Penetapan makna suatu ayat didasarkan pada penyebabnya yang khusus (sebab nuzul), bukan pada bentuk lafazhnya yang umum”.
Contoh penerapan kaidah pertama: Firman Allah, Surat An-Nur ayat 6:
Artinya : Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. [Q.S. An-Nur: 6].
Jika dilakukan pemahaman berdasarkan bentuk umumnya lafal terhadap surat An-Nur ayat 6 di atas, maka keharusan mengucapkan sumpah dengan nama Allah sebanyak empat kali bahwa tuduhannya adalah benar, berlaku bagi siapa saja (suami) yang menuduh isterinya berzina. Pemahaman yang demikian ini (berdasarkan umumnya lafal) tidak bertentangan dengan ayat lain atau hadits atau ketentuan hukum yang lainnya.
Contoh penerapan kaidah kedua: Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 115: Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situ-lah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas Rahmat-Nya, lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 115).
Jika dalam memahami ayat 115 ini kita terapkan kaidah pertama, maka dapat disimpulkan, bahwa shalat dapat dilakukan dengan menghadap ke arah mana saja, tanpa dibatasi oleh situasi dan kondisi di mana dan dalam keadaan bagaimana kita shalat. Kesimpulan demikian ini bertentangan dengan dalil lain (ayat) yang menyatakan, bahwa dalam melaksanakan shalat harus menghadap ke arah Masjidil-Haram. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Alllah: Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan (Al-Baqarah: 149).
Akan tetapi, jika dalam memahami Surat Al-Baqarah ayat 115 di atas dikaitkan dengan Asbab An-Nuzulnya, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah, bahwa menghadap ke arah mana saja dalam shalat adalah sah jika shalatnya dilakukan di atas kendaraan yang

sedang berjalan, atau dalam kondisi tidak mengetahui arah kiblat (Masjidil-Haram). Dalam kasus ayat yang demikian ini pemahamannya harus didasarkan pada sebab turunnya ayat yang bersifat khusus dan tidak boleh berpatokan pada bunyi lafazh yang bersifat umum.




BAB III
PENUTUP

F.     Kesimpulan

Mempelajari Asbab An-Nuzul sangat penting bagi yang ingin mengkaji ilmu tafsir, bahkan sebuah kewajiban bagi ahli tafsir. Cara mengetahui Asbab An-Nuzul pertama, dengan riwayat yang shahih, yakni riwayat yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh para ahli hadits. Kedua, menggunakan lafadh fa at-ta’qibiyah bermakna maka atau kemudian. Ketiga, dipahami dari konteks yang jelas. Keempat, tidak disebutkan secara tegas terhadap redaksi. Ada ulama yang berpendapat sebagai penjelasan tentang hukum.
            Metode penelitian dan pentarjihan Asbab An-Nuzul harus dilakukan penelitian terhadap riwayatnya, karena ada dua kategori dalam sebab penurunannya. Pertama, banyak turun ayat pada satu peristiwa, sedangkan yang kedua, banyak terjadi peristiwa pada satu ayat yang turun.

DAFTAR PUSTAKA


[1] Izzan, ahmad UlumulQur’an 2005 ( bandung:tafakur) hal : 177-178
2Izzan, ahmad Ulumul Qur’an 2005 ( bandung:tafakur ) hal :178-179
3Izzan, ahmad Ulumul Qur’an ( bandung:tafakur ) hal: 179-180
4Muhammad ibn ‘Alawi Al-Maliki, Samudra Ilmu-ilmu Al-Qur’an: Ringkasan kitab Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Bandung: Mizan Pustaka, 2003), hlm. 21-22.
5 Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 3, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), hlm. 111.


[1] Izzan, ahmad UlumulQur’an 2005 ( bandung:tafakur) hal : 177-178
[2] Izzan, ahmad Ulumul Qur’an 2005 ( bandung:tafakur ) hal :178-179
[3] Izzan, ahmad Ulumul Qur’an ( bandung:tafakur ) hal: 179-180
[4] Muhammad ibn ‘Alawi Al-Maliki, Samudra Ilmu-ilmu Al-Qur’an: Ringkasan kitab Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Bandung: Mizan Pustaka, 2003), hlm. 21-22.
[5] Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 3, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), hlm. 111.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar