Minggu, 12 April 2020

makalah nasakh mansukh karya mahasisiwa MBS


                                      NASIKH MANSUKH
          Di susun untuk memenuhi salah satu tugas  kelompok                                                                                                                         
                                       Pada mata kuliah Ulumul Qur'an
                                                           Dosen pengampu:
                                                                  Dani Ramdani, m.pd.



























                                                                     Di susun oleh:
                                                                       Wildan
                                                            Nenden
                                                    Momo M. Maulud
                                                       Faturrohman
                                      MANAJEMEN BISNIS SYARI'AH
     SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI DAN BISNIS SYARIAH                       
                NAHDLATUL ULAMA GARUT (2020 M/1441 H)
                                                           KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Alloh SWT. Berkat Rahmat dan limpahan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik tanpa ada hambatan, Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah U'lumul Qur'an di STIEBS NU GARUT.
Semoga makalah ini dapat memberikan ilmu pengetahuan dan wawasan, dan mahasisawa dapat memahami dengan benar apa itu nasikh mansukh. Kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna 9dan masih banyak kekurangan. Untuk itu, kami meminta kepada dosen pembing-bing untuk memberi masukan perbaikan untuk pembuatan makalah selanjutnya nya.
Semoga makalah ini bermanfaat khususnya untuk kami penulis, dan umum-nya untuk pembaca.













                                                               DAFTAR ISI
1. KATA PENGANTAR .............................................................,..........................II
2. DAFTAR ISI................,....................................................................................III
3. BAB  PENDAHULUAN.....................................................................................1
     A. LATAR BELAKANG....................................................................................1
     B. RUMUSAN MASALAH.............,..................................................................1
     C. TUJUANNPENULISAN...............................................................................2
4. BAB II PEMBAHASAN ..........................,.........................................................3
     A. PENGERTIAN NASIKH MANSUKH...........................................................3
     B. PENDAPAT ULAMA TENTANG NASIKH DALAM ALQUR'AN.................5
      C. MACAM-MACAM NASIKH..............................................................................................5
      D . HIKMAH MEMPELAJARI NASIKH MANSUKH..................................,...............,.........7
5. BAB III PENUTUPAN ...........................................................................................................8
    KESIMPULAN...................,..,.................................................................................................8
     DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................9








                                                                         BAB I
                                                          PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Qur’an sejak pertama kali diturunkannya kepada Nabi Muhammad SAW sampai sekarang ini mempunyai visi dan misi yang tetap. Hanya saja, semangat al-Qu’ran itu bisa saja berbeda, ketika ditangkap oleh obyek yang berbeda pula, sehingga pemahaman seseorang terhadap al-Qur’an pun dapat saja tepat atau kurang tepat.Hal ini terjadi karena respon seseorang terhadapal-Qur’an pada kurun waktu tertentu akan berbeda dengan respon seseorang yang hidup pada kurun waktu lainnya.
Pemahaman seseorang terhadap suatu teks al-Qur’an sangat ditekankan pada faktor ekstern yakni pada penguasaan terhadap ilmu-ilmu baru yang relevan yang terkait dengan teks al-Qur’an yang dimaksud. Dr. Muhammad Husain al-Dzahabi dalam Tafsir al-Mufassirun menjelaskan setidaknya ada lima belas ilmu-ilmu bantu yang harus dikuasai oleh seseorang guna memahami teks al-Qur’an, salah satu di antaranya adalah ilm nasikh wa al-mansukh.[1]
Sehingga fenomena naskh yang keberadaannya diakui oleh ulama, merupakan bukti besar bahwa ada dialetika hubungan antara wahyu dan realitas. Bahwa banyak sekali realitas kehidupan yang tidak sesuai dengan realitas kehidupan pada saat wahyu diturunkan. Sama halnya ketika dalam sebuah negara/lembaga yang mengeluarkan beberapa aturan yang kemudian setelah aturan tersebut diberlakukan muncul sebuah masalah yang tidak sesuai dengan keadaan atau kondisi awal. Maka dikeluarkanlah aturan yang baru menggantikan aturan-aturan lama. Dengan demikian aturan yang terbaru menggantikan atau me naskh aturan lama.[2]


B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut.
1.      Apakah pengertian dari nasikh mansukh?
2.      Bagaimana pendapat ulama mengenai nasakh dalam al-Qur’an?
3.      Apa saja macam-macam nasikh mansukh?
4.      Apa  hikmah dari mempelajari nasikh mansukh?

C.    Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui pengertian nasikh mansukh
2.      Untuk mengetahui pendapat ulama mengenai nasakh dalam al-Qur’an
3.      Untuk mengetahui macam-macam nasikh mansukh
4.      Untuk mengetahui manfaat dari mempelajari nasikh mansukh



















                                                                       BAB II
                                                 PEMBAHASAN
A.     Pengertian Nasikh mansukh
    Ilmu nasikh dan mansukh adalah ilmu yang membahas ikhwal penasakhan (penghapusan dan penggantian) sesuatu peraturan hukum Alqur’an. Belum ada kesepakatan di antara para ulama mengenai pengertian nasakh, baik menurut bahasa ataupun istilah, sehingga  ada beberapa pengertian.
  Empat macam arti "nasikh" menurut bahasa diantaranya:
1.  Al-Izaalah Wal I’daam (menghapus atau meniadakan)
nasikh itu berarti menghapuskan sesuatu atau menghilangkannya. Contohnya, seperti : uban itu telah menghilangkan kemudaan, matahari itu telah menghilangkan bayangan/ kegelapan.
2. At-tahwillu Ma’a Baqaa’fi Nafsihi ( Memindahkan sesuatu yang tetap sama )
nasikh itu berarti memindahkan suatu barang dari suatu tempat ke tempat lain, tetapi barang itu tetap sama saja. Contohnya, seperti kalimat: Para siswa itu saling/ sering berpindah dari satu sekolah ke sekolah lain,
3.  An-Naqlu Min Kitaabin Ilaa Kitaabin (menyalin atau mengutip)
nasikh diartikan dengan menyalin/ mengutip tulisan dari satu buku ke dalam buku lain, dengan tetap adanya persamaan antara salinan/ kutipan dengan yang disalin/ dikutip. Contohnya, seperti kalimat: saya menyalin pelajaran itu. Salinan pelajaran itu tentu sama dengan yang disalin.
4.  At-Taghyir wal Iqaamatisy sya’i Maqaamahu (mengubah dan membatalkan sesuatu dengan menempatkan sesuatu yang lain sebagai gantinya)
nasikh itu diartikan dengan mengubah sesuatu ketentuan/ hukum, dengan cara membatalkan ketentuan hukum yang ada, diganti dengan hukum baru yang lain ketentuannya.
        Beberapa perbedaan pendapat ulama memaknai nasikh menurut istilah, diantaranya:
1.  Nasikh secara umum
1.  Nasakh secara umum, yaitu:
النسخ البطال حكم مستفاد من نصسا بق بنص لا حق
Masalah adalah membatalkan hukum yang diperoleh dari nash (ketentuan dalil) yang pertama, dibatalkan dengan ketentuan nash yang datang kemudian.
 2.  Definisi nasikh secara singkat, yaitu:
النسخ رفع حكم الشرعي بد ليل شرعي
Nasakh adalah menghapuskan hukum syara' dengan memakai dalil syara' juga.
Contohnya:
كنت نهيتكم عن زيارة القبور الافزورها
Saya telah melarang kalian ziarah kubur. Perhatikan, (sekarang) kalian boleh berziarah kubur itu.
3.  Definisi nasikh secara lengkap, yaitu:
اليه رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي مع التراخي على وجه أولاه لكان الحكم الاول ثابثا
Masalah adalah menghapuskan hukum syara' dengan memakai dalil syara' dengan adanya tenggang waktu, dengan catatan kalau sekiranya tidak ada nasakh itu tentulah hukum yang pertama itu akan tetap berlaku.
         Definisi yang ketiga inilah yang tepat  dan lengkap. Ungkapan itu tepat sebagai definisi nasakh karena yang demikian itu nasakh. Tidak seperti definisi pertama, yang masih terlalu umum sehingga kurang terarah dan tidak pula seperti definisi kedua yang terlalu singkat, kurang jelas, sehingga tidak lengkap.
4.  Definisi nasikh yang salah, seperti yang diberikan sebagai ulama yang kurang setuju adanya nasikh.
اليه رفع عموم النص السا بق أو تقييد مطلقه بالاتصال اللا حق
Nasakh adalah membatasi keumuman nash yang terdahulu atau mengqayidi/ menetukan arti lafal mutlaknya dengan nash yang kemudian.
      Sedangkan Mansukh menurut bahasa, berarti sesuatu yang dihapus/ dihilangkan/ dipindah ataupun disalin/ dinukilkan. Sedangkan menurut istilah para ulama, mansukh ialah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama, yang belum diubah dengan dibatalkan dan diganti dengan hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.
      Tegasnya, dalam mansukh itu adalah berupa ketentuan hukum syara’ pertama yang telah diubah dan diganti dengan yang baru, karena adanya perubahan situasi dan kondisi yang menghendaki perubahan dan penggantian hukum tadi.
B. Beberapa pendapat tentang nasikh dalam Al-Qur'an.

1. Nash Sunnah yang dinukil secara mutawatir, sebagaimana cara Al-Qur’an dinukil. Apakah nash Al-Qur’an boleh dinasakh dengan nash Sunnah jenis ini? Syaikh Ali Bin Ubaidillah telah menceritakan dua buah riwayat yang berasal dari Ahmad. Dalam riwayat itu disebutkan, kalau Ahmad telah berkata bahwa pendapat yang masyhur menyebutkan kalau nash Al-Qur’an tidak boleh dinasakh dengan nash Hadits mutawatir. Pendapat inilah yang dianut oleh Ats-Tsauri dan Asy-Syafi’i.
Sedangkan riwayat kedua dari Ahmad menyebutkan kalau nash Al-Qur’an bisa dinasakh dengan nash Hadits mutawatir. Pendapat ini telah dianut oleh Abu Hanifah. Malik berkata bahwa dalil untuk riwayat pertama  dari Ahmad, yang menyatakan nash Al-Qur’an tidak bisa dinasakh dengan nash Hadits mutawatir. Allah SWT berfirman dalam Qs.Al Baqarah:106 yang artinya:
“Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya”.
Sedangkan dalil yang berasal dari Hadits Rasulullah SAW adalah yang telah dinukil oleh Ad-Daruquthni dari riwayat Jabir bin Abdullah, dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Perkataanku tidak bisa dibuat menasakh Al-Qur’an. Al-Qur’anlah yang dapat saling menasakh antara yang satu dengan yang lain”
Pertimbangan lain kalau nash mutawatir tidak bisa menasakh Al-Qur’an adalah dilihat dari segi maknanya. Bisa dikatakan bahwa Sunnah memiliki nilai lebih rendah dibandingkan dengan Al-Qur’an. Nasakh itu pada hakekatnya adalah sebuah upaya untuk menerangkan nash yang dinasakh. Dengan demikian makna ayat Al-Qur’an diatas sesuai dengan hakikat nasakh itu sendiri, yakni menerangkan hukum yang sebelumnya telah diturunkan kepada unat manusia.[4]
 2. Nash Sunnah yang dinukil secara ahad. Jenis nash Sunnah ini tidak bisa dipergunakan untuk menasakhkan Al-Qura’an, karena Hadits ahad tidak berkonsentrasi hukum qath’i (pasti), namun hanya menimbulkan hukum yang bersifat zhann. Dan Al-Qur’an berkonsekuensi pada hukum qath’i. Sedangkan argumen yang dipergunakan kelompok ulama yang megatakan boleh menasakh nash mutawatir dengan nash ahad adalah kisah penduduk Quba’ yang berani merubah arah kiblat ketika mereka hanya mendengar informasi dari salah seorang sahabat. Untuk mengomentari pendapat ini maka perlu diberi penjelasan sebagai berikut. Sebenarnya kiblat yang menghadap Baitul Maqdis tidak ditetapkan di dalam Al Qur’an. Oleh  karena itu hukum menghadap kiblat ke arah tersebut boleh di nashkan  meskipun hanya dengan ahad.

C. Macam-macam Nasikh
1.      Nasikh Al-qur’an dengan Al-qur’an
يا ايها الذين ينتمون ءامنو اذا ناجيتم الرسول فقدموا بين يدي نجواكم صدقة
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin)" .(al-Mujadilah:20)
Ayat ini menunjukkan kewajiban shadaqah bagi yang mampu sebelum berbisik-bisik dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian ayat ini dimansukh ayat berikutnya yang menghapuskan kewajiban tersebut. Lihat hal ini dalam Tafsir Ibnu Katsir. Allah Azza wa Jalla firmanNya :
ءاشفقتم أن تقدموا بين يدي نجواكم صدقات فلذلك تفعلوا وتابع الله عليكم فاقيموا الصلاة واتقوا الزكاة واطيعوا الله ورسوله والله خير بما تعلمون .ُ
"Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan". [Al Mujadilah:13]
2.  Nasikh Al-qur’an dengan Sunnah Rasul SAW.
a.      Nasakh Al-qur’an dengan hadits ahaad (bila yang meriwayatkan tidak mencapai jumlah/ taraf hadits mutawatir).
b.      Hadits Mutawatir : bila yang meriwayatkan banyak sehingga menurut pendapat umum, bahwa mereka tidak mungkin bersepakat dusta.
3.   Nasikh Sunnah Rasul SAW dengan Al-Qur’an:
a.      Peralihan menghadap kiblat dalam shalat dari Baitul Maqdis sesudah berjalan satu tahun ke Masjidil Haram
b.      Menasikhkan wajib puasa ‘Asyura dengan puasa ramadhan
4.   Nasikh sunnah dengan Sunnah Rasul SAW :
a.      Nasikh khabar ahaad dengan khabar ahaad, boleh
b.      Nasikh khabar ahaad dengan mutawatir, boleh
c.      Nasikh mutawatir dengan khabar ahaad, tidak boleh (menurut Jumhur)
نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها.
"Dahulu aku melarang kamu berziarah kubur, maka sekarang hendaklah kamu berziarah (kubur)".(HR. Muslim, no:977)

D. Hikmah mempelajari nasikh mansukh
Adanya nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat turunnya al-Qur’an itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya. Turunnya kitab suci Al-Qur’an tidak terjadi sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun lebih.
      Al-Maraghi secara lebih tegas mengemukakan hikmah adanya nasakh dalam al-Qur’an. Ia menyatakan bahwasannya, hukum-hukum tidak diundangkan kecuali untuk kemashlahatan manusia, dan hal ini dapat berubah atau berbeda, akibat perbedaan waktu dan tempat, sehingga apabila ada suatu hukum yang diundangkan pada suatu waktu karena adanya kebutuhan tersebut, maka hal ini merupakan suatu tindakan bijaksana apabila ia dinasakh dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan kebutuhan berikutnya. Dengan demikian, maka akan menjadi lebih baik dari hukum semula, atau setidaknya sama dengan hukum yang dinasakh dari segi manfaatnya bagi hamba-hamba Allah.[18]
Adapun manfaat mempelajari nasikh dan mansukh dalam al-Qur’an secara terperinci sebagai berikut.
1.      Memelihara kepentingan hamba dan kemaslahatan hamba.
2.      Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
3.      Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
4.      Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika nasakh itu beralih ke hal yang lebih berat maka didalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengundang kemudahan dan keringanan.[19]
5.      Menunjukkan bahwa syariat Islam yang diajarkan Rasulullah adalah syariat yang paling sempurna, yang telah menghapus syariat-syariat dari agama sebelumnya. Karena syariat Islam telah mencakup ajaran-ajaran sebelumnya.
6.      Untuk menguji umat Islam dengan perubahan hukum, apakah dengan perubahan ini mereka masih taat atau sebaliknya.[20]
7.      Agar pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kacau dan kabur. Sebagaimana perkataan Ali r.a kepada seorang hakim. Yang artinya: Diriwayatkan, Ali pada suatu hari melewati seorang hakim lalu bertanya: Apakah kamu mengetahui Nasakh dan Mansukh? “tidak” jawab hakim itu, maka kata Ali “celakalah kamu, dan kamu mencelakakan orang lain.”[21]

                                                         BAB III
                                                     PENUTUP
                                                   Kesimpulan

Nasakh adalah pembatalan, pengahapusan, atau penghilangan hukum setelah datang hukum yang kemudian. Nasakh mempunyai syarat-syaratnya, salah satu syarat nasakh yang di-nasakh adalah hukum syara’, yaitu hukum yang bersifat alamiah, bukan dalil akal dan bukan pula yang menyangkut akidah.
Nasakh terbagi menjadi berbagai macam-macam bagian. Di antaranya, nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an, nasakh al-Sunnah dengan al-Qur’an, nasakh al-Sunnah dengan al-Qur’an, dan nasakh al-sunnah dengan al-Sunnah.
Para ‘ulama berbeda pendapat mengenai nasakh. Ada yang mengatakan bahwa nasakh diperbolehkan dalam al-Qur’an, ada juga yang mengatakan bahwa nasakh tidak diperbolehkan dalam al-Qur’an. Untuk menetapkan kesimpulan mengenai nasakh ini, para pembaca bisa melihat argument (pendapat) melalui mencari bukti-bukti, atau langsung meneliti mengenai teori nasakh.
Dari hasil eksplorasi (penggalian) mengenai teori nasakh, tujuannya bukan hanya untuk mengetahui teori.Tapi juga untuk menjawab problematika hukum yang diistinbatkan (ditetapkan) dalam masyarat.Tentunya penetapan Istinbat hukum harus berdasarkan keilmuan atau harus menguasai bidang-bidang keilmuan. Seperti: Ilmu Qur’an, Ilmu Fiqh, Ilmu Ushul Fiqh, Ilmu Bahasa, dan lain sebagainya. Semua itu adalah Ilmu pendukung dalam menetapkan sebuah hukum.








                                         DAFTAR PUSTAKA

Djalal, Abdul. Ulumul Qur’an. Surabaya: Gugie Ilmu, 2009.
Ibnu. Nasikh Mansukh. Jakarta: Pustaka Azzam, 2002.
Mansyhur, Kahar. Pokok-Pokok Ulumul Qur’an. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004.
 Ulumul Qur’an (Surabaya: Gugie Ilmu, 2009 ), 105.
Ibnu Jauzi, An-Nasikh Wal Mansukh (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002),  27.
Kahar Mansyhur, Pokok-Pokok Ulumul Qur’an  (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), 137.

makalah Ilmu munasabah karya mahasiswa prodi ekos


MUNASABAH AL QUR’AN
MAKALAH
Di ajukan untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Ulumul Qur’an

Disusun Oleh :
§   Abdul Wahid
§   Rini Mustika
§   Sansan Badrul Jaman







EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI DAN BISNIS SYARI’AH NAHDLATUL ULAMA  (STIEBSNU)
GARUT
2020. M / 1441.



BAB 1
PEMBAHASAN

A.          Pendahuluan
Al quran adalah kitab suci ummat Islam dan telah disepakati bahwa kitab ini merupakan rujukan dalam menjawab persoalan hukum dan akhklak di tengah kehidupan ummat Islam, diatur cara berhubungan dengan masyarakat sesama muslim dan masyarakat non muslim, pengaturan tersebut jelas dan transparan, peraturan – peraturan yang terdapat di dalamnya pada intinya menjadikan manusia yang baik, ihsan, hidup di dunia bahagia dan hidup di akhirat juga bahagia.

                Sebagai seorang Muslim kita memiliki ikatan yang kuat dengan nilai-nilai imani Alquran. Dalam pada itu, tidak mudah begitu saja memisahkan diri dengan nilai tersebut. Mempelajari Alquran bagi seorang muslim tidak hanya semata-mata mencari kebenaran ilmiah, namun lebih dari itu yakni mencari isi kandungan dari rahasia Alquran. Jika ayat-ayat Alquran itu diperhatikan sepintas lalu terkesan seperti tidak  ada korelasi satu dengan yang lain, baik dengan yang sebelum maupun dengan yang sesudahnya, karena ayat-ayat tersebut tampak seolah-olah terputus  atau terpisah. Tetapi bila diamati secara seksama akan nampak jelas adanya munasabah (korelasi) yang erat antara yang satu dengan lainnya.[1]

Namun pada itu, kita tidak bisa pungkiri bahwa teori munasabah inimerupakan ranah ijtihad bersifat ijtihadi. Hingga kita akan menemukan beberapa bagian yang saling berkaitan sama lainya. Seperti yang di ungkapkan Rahmat Syafii, bahwa teori munasabah ijtihadi ini memiliki gejala gejala yang terdapat dalam munasabah itu sendiri seperti : hubungan logis yang dapat diterima dan hubungan logis bagi masing-masing ahli. Beliau menambahkan“…yang pada akhirnya timbul dua aliran antara yang mengatakan semua surat memiliki hubungan dan tidak semua surat memiliki hubungan.[2]

 
Didalam makalah yang singkat ini, penulis akan mencoba menguraikan apa yang menjadi pembahasan dalam munasabah Alquran yaitu:
a.               Pengertian Munasabah
b.              Macam-macam Munasabah
c.               Metode Mencari Munasabah
B.          Pengertian Munasabah

                Munāsabah  secara etimologis berarti hubungan persesuain, sedangkan dalam bahasa Arab arti munasabah dapat dijelaskan berarti muqarabat; saling berdekatan atau saling menyerupai, juga dapat hubungan kekerabatan, aspek hubungan atau keterkaitan antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat. Antara satu ayat dengan ayat lain dalam serangkaian ayat-ayat Al-quran, antara satu surah dengan surah lainnya.‘Ibnul ‘Arabi mengatakan munasabah adalah keterkaitan ayat-ayat Al-Quran antara yang satu dengan lainnya  sehingga seperti satu kata yang runtut dan teratur maknanya.[3]

Sedangkan pengertian Munāsabah menurut istilah bisa dipahami dari pendapat al-Syaikh Wali al-Din al-Malawi sebagaimana yang dikutip oleh Nawir Yuslem, yang mengatakan bahwa I’jaz al-Qur’an adalah uslub-nya yang tinggi dan susunannya yang indah. Yang pertama kali perlu dicari dalam ayat-ayat Alquran  adalah ayat yang menyempurnakan ayat sebelumnya atau ayat yang berdiri sendiri (mustaqillat), yang mempunyai hubungan dengan ayat sebelumnya. Demikian juga pada surat-surat Al qur’an dicari hubungan suatu surat dengan surat sebelumnya.[4]

Menurut beberapa ahli tafsir seperti Az-Zarkasyi, Manna’ Al Qaththan, Al Biqa’I berpendapat sebagaimana dikutip oleh Rosihon Anwar, mereka menyebutkan defenisi Munasabah secara terminologi adalah sebagai berikut :


1.              Menurut Az-Zarkasyi :[5]
Munasabah adalah suatu hal yang dapat difahami. Tatkala dihadapkan kepada akal, pasti akal itu akan menerimanya.
2.              Menurut Manna’ Al Qaththan :[6]
Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan didalam satu ayat atau antar ayat pada beberapa ayat,atau antar surat (didalam Alquran).
3.              Menurut Al Biqa’i :[7]
Mununasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan dibalik susunan atau urutan bagian-bagian Alquran, baik ayat dengan ayat, atau surat dengan surat.

Dari beberapa defenisi diatas dapat dijelaskan bahwa Munāsabah adalah keterkaitan atau hubungan antara surah-surah, ayat-ayat dalam Alquran, baik awal dengan akhir surah, hubungan tersebut menjelaskan  makna antar ayat atau antar surah baik korelasi secara umum atau khusus, rasional, persepsi atau imajinatif atau korelasi berupa sebab akibat, illat dan ma’lul perbandingan dan perlawanan, nama surah dengan isi surah melalui hasil ijtihad.

C.          Macam-macam Munasabah

Menurut al-Suyuti sebagaimamana yang dikutip oleh Nawir Yuslem, sekurang-kurangnya ada tujuh macam munasabah Alqur’an, yaitu :
1.              Munasabah antara surat yang satu dengan surat sebelumnya;
2.              Munasabah antara nama surat dengan tujuan turunya;
3.              Munasabah antara satu kalimat dengan kalimat lainnya dalam satu ayat;
4.              Munasabah antara satu ayat dengan ayat lainnya dalam satu surat;
5.              Munasabah antara kalimat penutup ayat (fasilah) dengan kandungan ayatnya;
6.              Munasabah antara awal uraian dengan akhir uraian suatu surat, dan
7.              Munasabah antara penutup satu surat dengan awal surat berikutnya.[8]
Untuk lebih jelasnya, dibawah ini akan diuraikan masing-masing munasabah tersebut :

1). Munasabah antara surat yang satu dengan surat sebelumnya
Surat-surat yang ada dalam Alquran mempunyai munasabah, sebab surat yang datang kemudian menjelaskan beberapa hal yang disebutkan secara global pada surat sebelumnya. Misalnya surat Al Baqarah memberikan perincian serta penjelasan terhadap surat Al Fatihah. Sedangkan surat Ali Imran yang merupakan urutan surat berikutnya memberikan penjelasan lebih lanjut terhadap kandungan surat Al Baqarah, yaitu ancaman Allah terhadap orang-orang kafir karena pengaruh harta dunia. Ayat dari surat-surat tersebut berbunyi :

 







Artinya :
“Segala puji untuk Allah Tuhan semesta alam (QS. Al Fatihah;2)
“Ingatlah kepadaku, niscaya Aku ingat pula kepadamu”. (QS.Al Baqarah : 152)
“Sesungguhnya orang-orang kafir, harta benda, dan anak-anak mereka, sedikitpun tidak dapat menolak siksaan mereka yang disediakan Allah. Dan mereka adalah bahan bakar api neraka (QS. Ali Imran : 10)[9]

2). Munasabah antara nama surat dengan tujuan turunnya.
Al-Biqa’i sebagaimana yang dikutip oleh Nawir Yuslem menjelaskan bahwa nama-nama surat Alquran merupakan “inti pembahasan surat tersebut serta  penjelasannya”, setiap surat mempunyai tema pembicaraan yang sangat menonjol, dan tercermin dalam nama-nama masing-masing surat, seperti surat Al Baqarah, surat Yusuf, surat al-Naml, dan surat al-Jin, cerita lembu betina dalam surat al Baqarah umpamanya, merupakan pembicaraan surat tersebut, yaitu kekuasaan Tuhan membangkitkan orang mati. Dengan kata lain, tujuan surat ini adalah menyangkut kekuasaan Tuhan dan keimanan kepada hari kemudian.[10]

3). Munasabah antara satu kalimat dengan kalimat lainnya dalam satu ayat.
Munasabah antara kalimat dalam Alquran adakalanya memakai huruf athof, dan adakalanya tidak memakai huruf athof. Yang memakai huruf athof biasanya mengambil bentuk berlwanan (muthadhodat), misalnya penggunaan و  dan ام  dalam ayat :[11]

 


Sedang munasabah yang tidak memakai huruf athof sandarannya adalah qorinah ma’nawiyah. Aspek ini dapat mengambil bentuk :
1). At-Tanzir, yaitu membandingkan dua hal yang sebanding, menurut kebiasaan orang yang berakal, misalnya :



Sebagaimana Tuhanmu menyuruh pergi dari rumahmu dengan kebenaran (berangkat perang), padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya.

Sedangkan ayat sebelumnya (Q.S Al Anfal ; 4) berbunyi :
        



Itu adalah orang-orang yang beriman dengan sebenarnya. Mereka itu akan memperoleh beberapa derajat ketinggian disisi Tuhannya dan mendapat keampunan serta rezeki yang mulia.



2). Al Mudhodat, artinya berlawanan, misalnya :
 


Sesungguhnya orang-orang kafir itu sama saja, diberi peringatan atau tidak diberi peringatan tetap mereka tidak beriman.

         Sifat orang kafir ini berlwanan dengan sifat orang mukmin yang membawa keberuntungan yang dijelaskan pada ayat sebelumnya :[12]

 

 
 



Dan mereka yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kapadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat (4). Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.

4). Munasabah antara satu ayat dengan ayat lainnya dalam satu surat.
Munasabah antar ayat dalam satu surat dapat dilihat dalam surat Al Baqarah ayat 1 sampai 20. Dalam ayat-ayat tersebut Allah memulai penjelasannya tentang kebenaran dan fungsi Alquran bagi orang-orang yang bertaqwa, dan kemudian dalam ayat berikutnya dibicarakan tiga kelompok manusia dan sifat-sifat mereka yang berbeda, yaitu mukmin, kafir dan munafik.[13]

5). Munasabah antara kalimat penutup ayat (fasilah) dengan kandungan ayatnya.
Munasabah disini bertujuan untuk :
Tamkin (memperkukuh), Misalnya Surat Al Ahzab ayat 25 :
 



Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. Dan Allahlah maha kuat lagi maha perkasa.
Ighal (penjelasan tambahan untuk mempertajam makna) Misalnya Surat An-Naml ayat 80 :
 


Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang itun mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang.[14]

6). Munasabah antara awal uraian dengan akhir uraian suatu surat
Munasabah ini dapat dijumpai, misalnya dalam Surat Al Qashah, permulaan Surat ini (ayat 1-32) menjelaskan perjuangan Nabi Musa, sementara di Akhir Surat (ayat 83-88) memberikan kabar gembira kepada Nabi Muhammad SAW yang menghadapi tekanan dari kaumnya, dan akan mengembalikannya ke Makkah (di awal surat tidak menolong orang yang berdosa. Dan diakhir Surat, Muhammad dilarang menolong orang-orang kafir). Munasabah terletak pada kesamaan situasi yang dihadapi, dan sama-sama mendapat jaminan dari Allah.[15]

7). Munasabah antara penutup satu surat dengan awal surat berikutnya :
al-Suyuti sebagaimana dikutip Nawir Yuslem, mengemukakan suatu surat mempunyai munasabah dengan akhir surat sebelumnya walaupun tidak mudah untuk mencarinya. Ia memberi contoh pada permulaan Surat Al Hadid yang dimulai dengan kata tasbih [16]:
 


Semua yang berada dilangit dan yang berada dibumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

 Ayat tersebut bermunasabah dengan akhir surat sebelumnya, al-Waqi’ah yang memerintahkan bertasbih.


Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Maha besar.
Kemudian, permulaan surat Al Baqarah (2) :[17]
 


Artinya :
“Alif Lam Mim. Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya;petunjuk bagi mereka yang bertakwa” (QS.Al Baqarah:1-2).

Ayat ini bermunasabah denga akhir Surat Al Fatihah (1) :[18]
 


Artinya :
“…..Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat “(QS. Alfatihah : 7)

D.           Metode Mencari Munasabah
Para ulama menjelaskan bahwa pengetahuan tentang munasabah bersifat ijtihadi. Artinya, pengetahuan tentangnya ditetapkan berdasarkan ijtihad karena tidak ditemukan riwayat, baik dari Nabi maupun para sahabatnya. Oleh karena itu tidak ada keharusan mencari munasabah pada setiap ayat. Alasannya Alquran diturunkan secara berangsur-angsur mengikuti berbagai kejadian dan pristiwa yang ada. Oleh sebab itu, terkadang mufassir menemukan keterkaitan suatu ayat dengan yang lainnya dan terkadang tidak. Ketika tidak menemukan keterkaitan itu, ia tidak diperkenankan memaksakan diri.[19]

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah langkah-langkah untuk mencari Munasabah. Berikut ini adalah laingkah-langkah yang biasa ditempuh oleh ahli tafsir mutaakhirin dan dipandang dapat memudahkan mencari munasabah, yaitu :
1.              Memperhatikan tujuan yang dibahas dalam surat.
2.              Memperhatikan uraian-uraian dari ayat-ayat sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat.
3.              Menentukan tingkat uraian-uraian itu;apakah ada hubungannya atau tidak ada.
4.              Ketika menarik kesimpulan dari uraian-uraian tersebut harus memperhatikan ungkapan bahasanya  dengan benar dan tidak berlebih-lebihan.[20]
       
E.          Peranan Munasabah dalam Tafsir.
Mengetahui Munasabah dalam tafsir tidak kalah pentingnya dengan asbab al-nuzul. Kalau asbab al-nuzul  membahas ayat dari segi sebab-sebab turunnya atau latar belakang historisnya. Sedangkan munasabah membahas ayat-ayat dari sudut hubungannya (Korelasi). Walaupun jumhur ulama berpandangan bahwa menjelaskan dan mencari asbab al-nuzul adalah jalan yang kuat dalam memahami ayat-ayat Alquran, tidak berarti bahwa peranan munasabah dalam tafsir tidak ada. Dalam memahami ayat-ayat Alquran, pengetahuan tentang munasabah sangat membantu. Hal ini disebabkan ayat-ayat Alquran tersusun berdasarkan petunjuk Allah sehingga pengertian suatu ayat kurang dapat dipahami begitu saja tanpa memahami ayat-ayat sebelumnya. Dengan demikian, munasabah Alquran mempunyai peranan dalam memahami ayat-ayat Alquran.[21]

                Ayat-ayat Alquran itu banyak bercerita tentang umat-umat terdahulu, baik peristiwa yang berlaku pada mereka maupun kewajiban-kewajiban yang pernah dibebankan atas mereka. Jika suatu ayat dipelajari, tanpa melihat keterkaitannya dengan ayat-ayat lain, maka mungkin akan terjadi penetapan hukum yang sebenarnya hukum itu dibebankan kepada umat sebelum nabi Muhammad SAW, yang tidak diwajibkan kepada umat Muhammad SAW. Bahkan tanpa bantuan munasabah ini seperti yang telah disinggung diatas mungkin terjadi kekeliruan dalam memahami ayat seperti pemahaman kaum Bathiniyyah terhadap penggalan ayat :[22]
 



Dan membuangkan dari mereka beban-beban dan belenggu yang ada pada mereka. (QS.Al-A’raf (7) : 15)

                Kaum Bathiniyyah memahami ayat ini, “ bahwa ada orang-orang tertentu yang telah dibebaskan dari larangan dan kewajiban agama yang dianggap sebagai belenggu bagi mereka; orang-orang yang telah sampai pada peringkat tersebut boleh berbuat apa saja yang mereka sukai”. Padahal   ayat ini tidak dapat dilepaskan dari ayat sebelumnya.[23]  
               
                Lebih jauh lagi, peranan munasabah dalam Tafsir adalah :
1.              Dapat mengembangkan bagian anggapan orang bahwa tema-tema Alquran kehilangan relevansi antara satu bagian dan bagian lainnya. Contohnya terhadap firman Allah dalam Surat Al Baqarah ayat 189 :





Artinya :
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah:”Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji;Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertaqwa dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya; dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung” (QS.Al Baqarah : 189).
Orang yang membaca ayat tersebut tentu akan bertanya-tanya: Apakah korelasi antara pembicaraan bulan sabit dengan pembicaraan mendatangi rumah. Dalam menjelaskan munasabah antara kedua pembicaraan itu.[24]

2.              Mengetahui  atau persambungan/ antara bagian Alquran, baik antara kalimat atau antar ayat maupun antar surat, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Alquran dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya, serta dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran setelah diketahui hubungan suatu kalimat atau ayat dengan kalimat atau ayat yang lain.[25]


















KESIMPULAN

Secara Etimologi bahwa Munasabah adalah keserupaan atau kedekatan, sedangkan secara Terminologi Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan dibalik susunan atau urutan bagian-bagian Alquran, baik ayat dengan ayat, atau surat dengan surat. Dapat disimpulkan bahwa Munasabah adalah keterkaitan atau hubungan antara surah-surah, ayat-ayat dalam Alquran, baik awal dengan akhir surah, hubungan tersebut menjelaskan  makna antar ayat atau antar surah baik korelasi secara umum atau khusus, rasional, persepsi atau imajinatif atau korelasi berupa sebab akibat, illat dan ma’lul perbandingan dan perlawanan, nama surah dengan isi surah melalui hasil ijtihad.

Dilihat dari macam-macam munasabah, sekurang-kurangnya ada tujuh macam munasabah Alqur’an, yaitu, Munasabah antara surat yang satu dengan surat sebelumnya, Munasabah antara nama surat dengan tujuan turunya, Munasabah antara satu kalimat dengan kalimat lainnya dalam satu ayat, Munasabah antara satu ayat dengan ayat lainnya dalam satu surat, Munasabah antara kalimat penutup ayat (fasilah) dengan kandungan ayatnya, Munasabah antara awal uraian dengan akhir uraian suatu surat, dan Munasabah antara penutup satu surat dengan awal surat berikutnya.

Hal yang perlu diperhatikan dalam mencari munasabah Alquran adalah dengan Memperhatikan tujuan yang dibahas dalam surat, Memperhatikan uraian-uraian dari ayat-ayat sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat, Menentukan tingkat uraian-uraian itu apakah ada hubungannya atau tidak ada, dan Ketika menarik kesimpulan dari uraian-uraian tersebut harus memperhatikan ungkapan bahasanya  dengan benar dan tidak berlebih-lebihan.















DAFTAR PUSTAKA



Usman,Ulumul Qur’an.Yogyakarta : Teras, 2009.
Syafii, Rahmat, Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung : Pustaka Setia, 2006.
As Suyuti , Imam Jalaluddin,Samudra Ulumul Qur’an (Al-Itqan fi ulumil qur’an). alih bahasa Farikh Marzuki Ammar, Imam Fauzi Jai’z jilid I. Surabaya:PT.Bina Ilmu, 2003.
Yuslem, Nawir, Ulumul Qur’an. Bandung:Citapustaka Media Perintis, 2010.
Anwar, Rosihon, Ulum Alquran. Bandung:Pustaka Setia, 2010.
Anwar, Abu, Ulumul Quran Sebuah Pengantar. Jakarta : Pustaka Amzah, 2009.
M.Yusuf , Kadar, Studi Alquran. Jakarta:Pustaka Amzah, 2009.



               


[1]. Usman,Ulumul Qur’an,(Yogyakarta : Teras, 2009), h.164
[2]. Rahmat Syafii, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung : Pustaka Setia, 2006), h.36.

[3].Imam Jalaluddin As Suyuti ,Samudra Ulumul Qur’an (Al-Itqan fi ulumil qur’an), alih bahasa : Farikh Marzuki Ammar, Imam Fauzi Jai’z jilid I ,(Surabaya:PT,Bina Ilmu, 2003) h. 528
[4].  Nawir Yuslem, Ulumul Qur’an (Bandung:Citapustaka Media Perintis, 2010), h. 36.
[5]. Rosihon Anwar, Ulum Alquran, (Bandung:Pustaka Setia, 2010), h.82
[6]. Ibid, h.83
[7] .Ibid, h.83
[8].  Yuslem, Quran , h.37
[9]. Abu Anwar, Ulumul Quran Sebuah Pengantar (Jakarta : Amzah, 2009), h. 65
[10]. Yuslem, Quran, h.38-39.
[11]. Anwar, Pengantar, h.70
[12] . Yuslem, Quran, h.41.
[13] . Ibid, h.42
[14] . Anwar, Pengantar, h.74
[15] . Ibid, h.75
[16] . Yuslem, Quran, h.44
[17] . Anwar, Al-Quran, h.95
[18] . Ibid, h.95
[19] .Ibid, h. 83               
[20] .Yuslem, Quran, h.45
[21]. Ibid, h.46
[22]. Kadar M.Yusuf, Studi Alquran, (Jakarta:Amzah, 2009) h.110
[23] . Ibid, h.112
[24]. Anwar, Alquran, h.96-97
[25]. Ibid, h.97