NASIKH MANSUKH
Di susun untuk memenuhi salah satu
tugas kelompok
Pada mata kuliah Ulumul Qur'an
Dosen pengampu:
Dani Ramdani, m.pd.
Di susun oleh:
Wildan
Nenden
Momo M. Maulud
Faturrohman
MANAJEMEN
BISNIS SYARI'AH
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI DAN BISNIS
SYARIAH
NAHDLATUL ULAMA GARUT (2020
M/1441 H)
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Alloh SWT. Berkat
Rahmat dan limpahan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
baik tanpa ada hambatan, Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah
satu tugas mata kuliah U'lumul Qur'an di STIEBS NU GARUT.
Semoga makalah ini dapat memberikan
ilmu pengetahuan dan wawasan, dan mahasisawa dapat memahami dengan benar apa
itu nasikh mansukh. Kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
9dan masih banyak kekurangan. Untuk itu, kami meminta kepada dosen pembing-bing
untuk memberi masukan perbaikan untuk pembuatan makalah selanjutnya nya.
Semoga makalah ini bermanfaat
khususnya untuk kami penulis, dan umum-nya untuk pembaca.
DAFTAR ISI
1. KATA
PENGANTAR
.............................................................,..........................II
2. DAFTAR
ISI................,....................................................................................III
3.
BAB
PENDAHULUAN.....................................................................................1
A. LATAR
BELAKANG....................................................................................1
B. RUMUSAN
MASALAH.............,..................................................................1
C.
TUJUANNPENULISAN...............................................................................2
4. BAB II
PEMBAHASAN ..........................,.........................................................3
A. PENGERTIAN NASIKH
MANSUKH...........................................................3
B. PENDAPAT ULAMA TENTANG NASIKH DALAM
ALQUR'AN.................5
C. MACAM-MACAM
NASIKH..............................................................................................5
D . HIKMAH MEMPELAJARI NASIKH
MANSUKH..................................,...............,.........7
5. BAB
III PENUTUPAN ...........................................................................................................8
KESIMPULAN...................,..,.................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................9
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an sejak pertama kali diturunkannya kepada Nabi
Muhammad SAW sampai sekarang ini mempunyai visi dan misi yang tetap. Hanya
saja, semangat al-Qu’ran itu bisa saja berbeda, ketika ditangkap oleh obyek
yang berbeda pula, sehingga pemahaman seseorang terhadap al-Qur’an pun dapat
saja tepat atau kurang tepat.Hal ini terjadi karena respon seseorang
terhadapal-Qur’an pada kurun waktu tertentu akan berbeda dengan respon
seseorang yang hidup pada kurun waktu lainnya.
Pemahaman seseorang terhadap suatu teks al-Qur’an sangat
ditekankan pada faktor ekstern yakni pada penguasaan terhadap ilmu-ilmu baru
yang relevan yang terkait dengan teks al-Qur’an yang dimaksud. Dr. Muhammad
Husain al-Dzahabi dalam Tafsir al-Mufassirun menjelaskan setidaknya ada lima
belas ilmu-ilmu bantu yang harus dikuasai oleh seseorang guna memahami teks
al-Qur’an, salah satu di antaranya adalah ilm nasikh wa al-mansukh.[1]
Sehingga fenomena naskh yang keberadaannya diakui oleh
ulama, merupakan bukti besar bahwa ada dialetika hubungan antara wahyu dan
realitas. Bahwa banyak sekali realitas kehidupan yang tidak sesuai dengan
realitas kehidupan pada saat wahyu diturunkan. Sama halnya ketika dalam sebuah
negara/lembaga yang mengeluarkan beberapa aturan yang kemudian setelah aturan
tersebut diberlakukan muncul sebuah masalah yang tidak sesuai dengan keadaan
atau kondisi awal. Maka dikeluarkanlah aturan yang baru menggantikan
aturan-aturan lama. Dengan demikian aturan yang terbaru menggantikan atau me
naskh aturan lama.[2]
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa
masalah sebagai berikut.
1. Apakah
pengertian dari nasikh mansukh?
2. Bagaimana
pendapat ulama mengenai nasakh dalam al-Qur’an?
3. Apa saja
macam-macam nasikh mansukh?
4. Apa hikmah dari mempelajari nasikh mansukh?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk
mengetahui pengertian nasikh mansukh
2. Untuk
mengetahui pendapat ulama mengenai nasakh dalam al-Qur’an
3. Untuk mengetahui
macam-macam nasikh mansukh
4. Untuk
mengetahui manfaat dari mempelajari nasikh mansukh
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nasikh mansukh
Ilmu nasikh dan
mansukh adalah ilmu yang membahas ikhwal penasakhan (penghapusan dan
penggantian) sesuatu peraturan hukum Alqur’an. Belum ada kesepakatan di antara
para ulama mengenai pengertian nasakh, baik menurut bahasa ataupun istilah,
sehingga ada beberapa pengertian.
Empat macam arti
"nasikh" menurut bahasa diantaranya:
1. Al-Izaalah Wal
I’daam (menghapus atau meniadakan)
nasikh itu berarti menghapuskan sesuatu atau
menghilangkannya. Contohnya, seperti : uban itu telah menghilangkan kemudaan,
matahari itu telah menghilangkan bayangan/ kegelapan.
2. At-tahwillu Ma’a Baqaa’fi Nafsihi ( Memindahkan sesuatu
yang tetap sama )
nasikh itu berarti memindahkan suatu barang dari suatu
tempat ke tempat lain, tetapi barang itu tetap sama saja. Contohnya, seperti
kalimat: Para siswa itu saling/ sering berpindah dari satu sekolah ke sekolah
lain,
3. An-Naqlu Min
Kitaabin Ilaa Kitaabin (menyalin atau mengutip)
nasikh diartikan dengan menyalin/ mengutip tulisan dari satu
buku ke dalam buku lain, dengan tetap adanya persamaan antara salinan/ kutipan
dengan yang disalin/ dikutip. Contohnya, seperti kalimat: saya menyalin
pelajaran itu. Salinan pelajaran itu tentu sama dengan yang disalin.
4. At-Taghyir wal
Iqaamatisy sya’i Maqaamahu (mengubah dan membatalkan sesuatu dengan menempatkan
sesuatu yang lain sebagai gantinya)
nasikh itu diartikan dengan mengubah sesuatu ketentuan/
hukum, dengan cara membatalkan ketentuan hukum yang ada, diganti dengan hukum
baru yang lain ketentuannya.
Beberapa
perbedaan pendapat ulama memaknai nasikh menurut istilah, diantaranya:
1. Nasikh secara umum
1. Nasakh secara
umum, yaitu:
النسخ البطال حكم مستفاد
من نصسا بق بنص لا حق
Masalah adalah
membatalkan hukum yang diperoleh dari nash (ketentuan dalil) yang pertama,
dibatalkan dengan ketentuan nash yang datang kemudian.
2. Definisi nasikh secara singkat, yaitu:
النسخ رفع حكم الشرعي بد
ليل شرعي
Nasakh adalah menghapuskan hukum syara' dengan memakai dalil
syara' juga.
Contohnya:
كنت نهيتكم عن
زيارة القبور الافزورها
Saya telah melarang kalian ziarah kubur. Perhatikan,
(sekarang) kalian boleh berziarah kubur itu.
3. Definisi nasikh
secara lengkap, yaitu:
اليه رفع الحكم
الشرعي بدليل شرعي مع التراخي على وجه أولاه لكان الحكم الاول ثابثا
Masalah adalah menghapuskan hukum syara' dengan memakai
dalil syara' dengan adanya tenggang waktu, dengan catatan kalau sekiranya tidak
ada nasakh itu tentulah hukum yang pertama itu akan tetap berlaku.
Definisi yang
ketiga inilah yang tepat dan lengkap.
Ungkapan itu tepat sebagai definisi nasakh karena yang demikian itu nasakh.
Tidak seperti definisi pertama, yang masih terlalu umum sehingga kurang terarah
dan tidak pula seperti definisi kedua yang terlalu singkat, kurang jelas,
sehingga tidak lengkap.
4. Definisi nasikh
yang salah, seperti yang diberikan sebagai ulama yang kurang setuju adanya
nasikh.
اليه رفع عموم
النص السا بق أو تقييد مطلقه بالاتصال اللا حق
Nasakh adalah membatasi keumuman nash yang terdahulu atau
mengqayidi/ menetukan arti lafal mutlaknya dengan nash yang kemudian.
Sedangkan
Mansukh menurut bahasa, berarti sesuatu yang dihapus/ dihilangkan/ dipindah
ataupun disalin/ dinukilkan. Sedangkan menurut istilah para ulama, mansukh
ialah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama, yang belum
diubah dengan dibatalkan dan diganti dengan hukum dari dalil syara’ baru yang
datang kemudian.
Tegasnya, dalam
mansukh itu adalah berupa ketentuan hukum syara’ pertama yang telah diubah dan
diganti dengan yang baru, karena adanya perubahan situasi dan kondisi yang
menghendaki perubahan dan penggantian hukum tadi.
B.
Beberapa pendapat tentang nasikh dalam Al-Qur'an.
1. Nash Sunnah yang dinukil secara mutawatir, sebagaimana
cara Al-Qur’an dinukil. Apakah nash Al-Qur’an boleh dinasakh dengan nash Sunnah
jenis ini? Syaikh Ali Bin Ubaidillah telah menceritakan dua buah riwayat yang
berasal dari Ahmad. Dalam riwayat itu disebutkan, kalau Ahmad telah berkata
bahwa pendapat yang masyhur menyebutkan kalau nash Al-Qur’an tidak boleh
dinasakh dengan nash Hadits mutawatir. Pendapat inilah yang dianut oleh
Ats-Tsauri dan Asy-Syafi’i.
Sedangkan riwayat kedua dari Ahmad menyebutkan kalau nash
Al-Qur’an bisa dinasakh dengan nash Hadits mutawatir. Pendapat ini telah dianut
oleh Abu Hanifah. Malik berkata bahwa dalil untuk riwayat pertama dari Ahmad, yang menyatakan nash Al-Qur’an
tidak bisa dinasakh dengan nash Hadits mutawatir. Allah SWT berfirman dalam
Qs.Al Baqarah:106 yang artinya:
“Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan
(manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang
sebanding dengannya”.
Sedangkan dalil yang berasal dari Hadits Rasulullah SAW
adalah yang telah dinukil oleh Ad-Daruquthni dari riwayat Jabir bin Abdullah,
dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Perkataanku tidak bisa dibuat menasakh Al-Qur’an.
Al-Qur’anlah yang dapat saling menasakh antara yang satu dengan yang lain”
Pertimbangan lain kalau nash mutawatir tidak bisa menasakh
Al-Qur’an adalah dilihat dari segi maknanya. Bisa dikatakan bahwa Sunnah
memiliki nilai lebih rendah dibandingkan dengan Al-Qur’an. Nasakh itu pada hakekatnya
adalah sebuah upaya untuk menerangkan nash yang dinasakh. Dengan demikian makna
ayat Al-Qur’an diatas sesuai dengan hakikat nasakh itu sendiri, yakni
menerangkan hukum yang sebelumnya telah diturunkan kepada unat manusia.[4]
2. Nash Sunnah yang
dinukil secara ahad. Jenis nash Sunnah ini tidak bisa dipergunakan untuk
menasakhkan Al-Qura’an, karena Hadits ahad tidak berkonsentrasi hukum qath’i
(pasti), namun hanya menimbulkan hukum yang bersifat zhann. Dan Al-Qur’an
berkonsekuensi pada hukum qath’i. Sedangkan argumen yang dipergunakan kelompok
ulama yang megatakan boleh menasakh nash mutawatir dengan nash ahad adalah
kisah penduduk Quba’ yang berani merubah arah kiblat ketika mereka hanya
mendengar informasi dari salah seorang sahabat. Untuk mengomentari pendapat ini
maka perlu diberi penjelasan sebagai berikut. Sebenarnya kiblat yang menghadap
Baitul Maqdis tidak ditetapkan di dalam Al Qur’an. Oleh karena itu hukum menghadap kiblat ke arah
tersebut boleh di nashkan meskipun hanya
dengan ahad.
C. Macam-macam
Nasikh
1. Nasikh
Al-qur’an dengan Al-qur’an
يا ايها الذين
ينتمون ءامنو اذا ناجيتم الرسول فقدموا بين يدي نجواكم صدقة
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan
pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada
orang miskin)" .(al-Mujadilah:20)
Ayat ini menunjukkan kewajiban shadaqah bagi yang mampu
sebelum berbisik-bisik dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian ayat ini dimansukh ayat berikutnya yang menghapuskan kewajiban
tersebut. Lihat hal ini dalam Tafsir Ibnu Katsir. Allah Azza wa Jalla firmanNya
:
ءاشفقتم أن
تقدموا بين يدي نجواكم صدقات فلذلك تفعلوا وتابع الله عليكم فاقيموا الصلاة واتقوا
الزكاة واطيعوا الله ورسوله والله خير بما تعلمون .ُ
"Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu
memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul Maka jika kamu tiada
memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan". [Al Mujadilah:13]
2. Nasikh Al-qur’an
dengan Sunnah Rasul SAW.
a. Nasakh
Al-qur’an dengan hadits ahaad (bila yang meriwayatkan tidak mencapai jumlah/
taraf hadits mutawatir).
b. Hadits
Mutawatir : bila yang meriwayatkan banyak sehingga menurut pendapat umum, bahwa
mereka tidak mungkin bersepakat dusta.
3. Nasikh Sunnah
Rasul SAW dengan Al-Qur’an:
a. Peralihan
menghadap kiblat dalam shalat dari Baitul Maqdis sesudah berjalan satu tahun ke
Masjidil Haram
b. Menasikhkan
wajib puasa ‘Asyura dengan puasa ramadhan
4. Nasikh sunnah
dengan Sunnah Rasul SAW :
a. Nasikh khabar
ahaad dengan khabar ahaad, boleh
b. Nasikh khabar
ahaad dengan mutawatir, boleh
c. Nasikh
mutawatir dengan khabar ahaad, tidak boleh (menurut Jumhur)
نهيتكم عن زيارة
القبور فزوروها.
"Dahulu aku melarang kamu berziarah kubur, maka
sekarang hendaklah kamu berziarah (kubur)".(HR. Muslim, no:977)
D. Hikmah
mempelajari nasikh mansukh
Adanya
nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat turunnya al-Qur’an itu sendiri
dan tujuan yang ingin dicapainya. Turunnya kitab suci Al-Qur’an tidak terjadi
sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun lebih.
Al-Maraghi
secara lebih tegas mengemukakan hikmah adanya nasakh dalam al-Qur’an. Ia
menyatakan bahwasannya, hukum-hukum tidak diundangkan kecuali untuk
kemashlahatan manusia, dan hal ini dapat berubah atau berbeda, akibat perbedaan
waktu dan tempat, sehingga apabila ada suatu hukum yang diundangkan pada suatu
waktu karena adanya kebutuhan tersebut, maka hal ini merupakan suatu tindakan
bijaksana apabila ia dinasakh dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan
kebutuhan berikutnya. Dengan demikian, maka akan menjadi lebih baik dari hukum
semula, atau setidaknya sama dengan hukum yang dinasakh dari segi manfaatnya
bagi hamba-hamba Allah.[18]
Adapun manfaat mempelajari nasikh dan mansukh dalam
al-Qur’an secara terperinci sebagai berikut.
1. Memelihara
kepentingan hamba dan kemaslahatan hamba.
2. Cobaan dan
ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
3. Perkembangan
tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan
perkembangan kondisi umat manusia.
4. Menghendaki
kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika nasakh itu beralih ke hal yang
lebih berat maka didalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal
yang lebih ringan maka ia mengundang kemudahan dan keringanan.[19]
5. Menunjukkan
bahwa syariat Islam yang diajarkan Rasulullah adalah syariat yang paling
sempurna, yang telah menghapus syariat-syariat dari agama sebelumnya. Karena
syariat Islam telah mencakup ajaran-ajaran sebelumnya.
6. Untuk menguji
umat Islam dengan perubahan hukum, apakah dengan perubahan ini mereka masih
taat atau sebaliknya.[20]
7. Agar
pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kacau dan kabur. Sebagaimana perkataan
Ali r.a kepada seorang hakim. Yang artinya: Diriwayatkan, Ali pada suatu hari
melewati seorang hakim lalu bertanya: Apakah kamu mengetahui Nasakh dan
Mansukh? “tidak” jawab hakim itu, maka kata Ali “celakalah kamu, dan kamu
mencelakakan orang lain.”[21]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Nasakh adalah pembatalan, pengahapusan, atau penghilangan
hukum setelah datang hukum yang kemudian. Nasakh mempunyai syarat-syaratnya,
salah satu syarat nasakh yang di-nasakh adalah hukum syara’, yaitu hukum yang
bersifat alamiah, bukan dalil akal dan bukan pula yang menyangkut akidah.
Nasakh terbagi menjadi berbagai macam-macam bagian. Di
antaranya, nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an, nasakh al-Sunnah dengan
al-Qur’an, nasakh al-Sunnah dengan al-Qur’an, dan nasakh al-sunnah dengan
al-Sunnah.
Para ‘ulama berbeda pendapat mengenai nasakh. Ada yang
mengatakan bahwa nasakh diperbolehkan dalam al-Qur’an, ada juga yang mengatakan
bahwa nasakh tidak diperbolehkan dalam al-Qur’an. Untuk menetapkan kesimpulan
mengenai nasakh ini, para pembaca bisa melihat argument (pendapat) melalui
mencari bukti-bukti, atau langsung meneliti mengenai teori nasakh.
Dari hasil eksplorasi (penggalian) mengenai teori nasakh,
tujuannya bukan hanya untuk mengetahui teori.Tapi juga untuk menjawab
problematika hukum yang diistinbatkan (ditetapkan) dalam masyarat.Tentunya
penetapan Istinbat hukum harus berdasarkan keilmuan atau harus menguasai
bidang-bidang keilmuan. Seperti: Ilmu Qur’an, Ilmu Fiqh, Ilmu Ushul Fiqh, Ilmu
Bahasa, dan lain sebagainya. Semua itu adalah Ilmu pendukung dalam menetapkan
sebuah hukum.
DAFTAR
PUSTAKA
Djalal, Abdul. Ulumul Qur’an. Surabaya: Gugie Ilmu, 2009.
Ibnu. Nasikh Mansukh. Jakarta: Pustaka Azzam, 2002.
Mansyhur, Kahar. Pokok-Pokok Ulumul Qur’an. Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2004.
Ulumul Qur’an
(Surabaya: Gugie Ilmu, 2009 ), 105.
Ibnu Jauzi, An-Nasikh Wal Mansukh (Jakarta: Pustaka Azzam,
2002), 27.
Kahar Mansyhur, Pokok-Pokok Ulumul Qur’an (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), 137.