Maka sesungguhnya kamu tidak akan sanggup menjadikan orang-orang yang mati
itu dapat mendengar, dan menjadikan orang-orang yang tuli dapat mendengar
seruan, apabila mereka itu berpaling membelakangi. Dan kamu sekali-kali tidak
akan dapat memberi petunjuk kepada orang-orang yang buta (mata hatinya) dari
kesesatannya. Dan kamu tidak dapat memperdengarkan (petunjuk Tuhan) melainkan
kepada orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami, mereka itulah
orang-orang yang berserah diri (kepada Kami).
Allah Swt. berfirman bahwa sesungguhnya kamu, Muhammad, tidak akan sanggup
membuat orang-orang yang telah mati di dalam kuburnya dapat mendengar, dan kamu
tidak akan dapat menyampaikan seruanmu kepada orang tuli yang tidak mau
mendengar seruanmu, sedangkan mereka berpaling darimu. Demikian pula kamu tidak
akan sanggup memberi petunjuk kepada orang yang buta dari perkara yang hak,
lalu menyadarkan mereka dari kesesatannya, melainkan hal itu hanya Allah-lah
yang dapat melakukannya. Karena sesungguhnya Allah Swt. dengan kekuasaan-Nya
dapat menjadikan orang-orang yang telah mati mendengar suara orang-orang yang
hidup, jika Dia menghendaki. Dan Dia dapat memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya, juga dapat menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya. Tiada
seorang pun yang dapat melakukan hal tersebut selain dari Allah semata. Karena
itulah disebutkan oleh firman-Nya:
{إِنْ تُسْمِعُ إِلا مَنْ يُؤْمِنُ
بِآيَاتِنَا فَهُمْ مُسْلِمُونَ}
Dan kamu tidak dapat memperdengarkan (petunjuk Tuhan) melainkan
kepada orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami, mereka itulah
orang-orang yang berserah diri. (Ar-Rum: 53)
Yakni orang-orang yang patuh, tunduk, dan mendengarkan; dan mereka itulah
orang-orang yang mendengarkan perkara yang hak, lalu mengikutinya. Demikianlah
ciri khas orang-orang mukmin. Bagian yang pertama merupakan gambaran perihal
orang-orang kafir. Makna ayat ini sama dengan apa yang disebutkan dalam ayat
lain melalui firman-Nya:
{إِنَّمَا يَسْتَجِيبُ الَّذِينَ
يَسْمَعُونَ وَالْمَوْتَى يَبْعَثُهُمُ اللَّهُ ثُمَّ إِلَيْهِ يُرْجَعُونَ}
Hanya orang-orang yang mendengar sajalah yang mematuhi (seruan Allah),
dan orang-orang yang mati (hatinya), akan dibangkitkan oleh Allah,
kemudian kepada-Nyalah mereka dikembalikan. (Al-An'am: 36)
Ummul Mu-minin Siti Aisyah r.a. berpegang kepada dalil ayat ini, yaitu
firman-Nya: sesungguhnya kamu tidak akan sanggup menjadikan orang-orang yang
mati itu dapat mendengar. (Ar-Rum: 52) Dalam sanggahannya terhadap pendapat
Abdullah ibnu Umar r.a. dalam riwayatnya yang menceritakan pembicaraan Nabi Saw.
kepada orang-orang musyrik yang telah gugur dalam Perang Badar, lalu mereka
dilemparkan di dalam sebuah sumur di Badar. Hal itu dilakukan oleh Nabi Saw.
sesudah tiga hari. Nabi Saw. dalam pembicaraannya itu mencela dan mengecam
mereka yang telah mati di dalam sumur itu. Sehingga sahabat Umar bertanya
kepadanya, "Wahai Rasulullah, mengapa engkau berbicara kepada kaum yang
telah menjadi bangkai?" Maka beliau Saw. menjawab:
"وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ،
مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ لِمَا أَقُولُ مِنْهُمْ، وَلَكِنْ لَا يُجِيبُونَ"
Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, tiadalah
kalian lebih mendengar apa yang kuucapkan dari mereka, tetapi mereka tidak
dapat menjawab.
Hadis ini ditakwilkan oleh Siti Aisyah r.a. dengan pengertian 'sesungguhnya
mereka yang diajak bicara itu, setelah mereka mati benar-benar mengetahui bahwa
apa yang dikatakan oleh Nabi Saw. kepada mereka adalah benar belaka.'
Qatadah mengatakan bahwa Allah menghidupkan mereka untuk Nabi Saw. sehingga
mereka dapat mendengar ucapannya, sebagai kecaman, cemoohan, dan pembalasan
darinya.
Menurut pendapat yang sahih di kalangan ulama adalah riwayat Abdullah ibnu
Umar, mengingat riwayat ini mempunyai banyak syahid yang membuktikan
kesahihannya melalui berbagai jalur yang cukup banyak. Yang paling terkenal di
antara riwayat-riwayat tersebut ialah yang diriwayatkan melalui Ibnu Abdul Barr
yang dinilai sahih melalui Ibnu Abbas secara marfu':
"مَا مِنْ أَحَدٍ يَمُرُّ
بِقَبْرِ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ، كَانَ يَعْرِفُهُ فِي الدُّنْيَا، فَيُسَلِّمُ
عَلَيْهِ، إِلَّا رَدَّ اللَّهُ عَلَيْهِ رُوحَهُ، حَتَّى يَرُدَّ عَلَيْهِ
السَّلَامَ"
Tiada seorang pun yang melalui kuburan saudara muslimnya yang ia kenal
semasa hidupnya, lalu ia mengucapkan salam kepadanya, melainkan Allah
mengembalikan rohnya hingga menjawab salamnya.
Telah terbuktikan pula melalui suatu hadis yang bersumber dari Nabi Saw.
ditujukan kepada umatnya, bahwa apabila mereka hendak mengucapkan salam kepada
ahli kubur, hendaklah mereka menyalami ahli kubur sebagaimana mereka menyalami
orang yang mereka ajak bicara. Untuk itu seorang muslim dianjurkan mengucapkan
salam berikut:
السَّلَامُ
عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ
Semoga keselamatan terlimpahkan kepada kalian, wahai (penduduk) kampung
kaum yang beriman.
Ini jelas pembicaraan yang ditujukan kepada orang yang mendengar dan
mengerti. Seandainya pembicaraan ini tidak memakai teks tersebut, tentulah sama
saja dengan berbicara kepada yang tiada atau benda mati.
Ulama Salaf telah sepakat membenarkan hal ini (mengucapkan salam kepada
ahli kubur). Menurut asar-asar yang berpredikat mutawatir dari mereka,
mayat mengetahui orang hidup yang berziarah kepadanya dan merasa gembira dengan
kunjungannya.
Ibnu Abud Dunia telah meriwayatkan di dalam Kitabul Qubur melalui
Siti Aisyah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَا مِنْ رَجُلٍ يَزُورُ
قَبْرَ أَخِيهِ وَيَجْلِسُ عِنْدَهُ، إِلَّا اسْتَأْنَسَ بِهِ وَرَدَّ عَلَيْهِ
حَتَّى يَقُومَ"
Tiada seorang pun yang menziarahi kubur saudaranya, lalu duduk di sisinya
melainkan saudaranya itu terhibur dengan kedatangannya dan menjawab salamnya
hingga ia bangkit (meninggalkannya).
Telah diriwayatkan pula melalui Abu Hurairah r.a. yang telah mengatakan
bahwa apabila seseorang melewati kuburan yang penghuninya ia kenal, lalu ia
mengucapkan salam kepadanya, maka salamnya dijawab olehnya.
Ibnu Abud Dunia telah meriwayatkan berikut sanadnya dari seorang lelaki
dari kalangan keluarga Asim Al-Juhdari yang telah menceritakan bahwa ia pernah
melihat Asim Al-Juhdari dalam mimpinya setelah Asim meninggal dunia. Lalu
lelaki itu bertanya, "Bukankah kamu telah mati?" Asim menjawab,
"Benar." Lelaki itu bertanya lagi, "Sekarang engkau berada di
mana?" Asim menjawab, "Saya, demi Allah, berada di suatu taman dari taman
surga bersama sejumlah teman-temanku. Kami berkumpul setiap malam Jumat, dan
pagi harinya di tempat Bakr ibnu Abdullah Al-Muzani. Maka kami menerima
berita-berita tentang kalian." Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa lalu
lelaki itu bertanya lagi, "Apakah yang berkumpul itu tubuh kalian, ataukah
arwah kalian?" Asim menjawab, "Mustahil bila yang berkumpul adalah
jasad kami, karena jasad kami telah hancur luluh dan yang dapat bertemu
hanyalah arwah kami saja." Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa lelaki itu
bertanya lagi, "Apakah kalian mengetahui bila kami berziarah kepada
kalian?" Asim menjawab, "Kami mengetahuinya pada petang hari Jumat
dan seluruh hari Jumat serta malam hari sabtu hingga matahari terbit."
Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa lelaki itu bertanya, "Mengapa demikian,
bukan pada hari-hari lainnya?" Asim menjawab, "Berkat keutamaan dan
kebesaran hari Jumat."
Ibnu Abud Dunia mengatakan, telah menceritakan pula kepada kami Muhammad
ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Bakr ibnu Muhammad, telah
menceritakan kepada kami Hasan Al-Qassab yang menceritakan bahwa ia setiap pagi
hari Sabtu selalu berangkat bersama Muhammad ibnu Wasi' menuju Al-Jiban, lalu
mereka berdiri di kuburan yang ada di sana, dan mengucapkan salam kepada ahli
kubur serta mendoakan mereka, sesudah itu mereka pulang. Maka pada suatu hari
Hasan Al-Qassab bertanya, "Bagaimanakah kalau kita ubah kebiasaan hari ini
menjadi hari Senin?" Muhammad ibnu Wasi' menjawab, "Telah sampai
suatu berita kepadaku bahwa orang-orang yang telah mati mengetahui para peziarah
mereka hanya pada hari Jumat dan sehari sebelumnya serta sehari
sesudahnya."
Ibnu Abu Dunia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad, telah
menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Aban, telah menceritakan kepada kami
Sufyan As-Sauri yang mengatakan, ia pernah mendengar bahwa Ad-Dahhak pernah
mengatakan, "Barang siapa yang melakukan ziarah kubur pada hari Sabtu
sebelum matahari terbit, maka mayat yang diziarahinya mengetahui
kunjungannya." Ketika ditanyakan kepadanya mengenai penyebabnya, maka
Ad-Dahhak menjawab, "Itu berkat keutamaan hari Jumat (yang berdekatan
dengannya)."
Telah menceritakan kepada kami Khalid ibnu Khaddasy, telah menceritakan
kepada kami Ja'far ibnu Sulaiman, dari Abut Tayyah yang mengatakan bahwa
Mutarrif selalu berangkat di siang hari, dan bila hari Jumat ia berangkat
pagi-pagi sekali. Ja'far ibnu Sulaiman mengatakan bahwa ia pernah mendengar
Abut Tayyah mengatakan, "Mutarrif turun istirahat di Gautah saat malam
akan tiba, ketika itu ia berada di dekat pekuburan dan ia masih berada di atas
kudanya. Maka ia melihat ahli kubur, masing-masing sedang duduk di atas
kuburnya, lalu mereka berkata (di antara sesamanya), ini Mutarrif datang pada
hari Jumat dan akan mengerjakan salat Jumat di dekat kalian.' Mereka berkata,
'Benar, dan kita mengetahui apa yang dikatakan oleh burung pada hari Jumat.'
Mutarrif bertanya, 'Apakah yang diucapkan oleh burung-burung itu.' Mereka
menjawab, 'Salamun 'alaikum"
Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Hasan, telah menceritakan
kepada kami Yahya ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnul
Muwaffiq (anak lelaki pamannya Sufyan ibnu Uyaynah) yang menceritakan,
"Ketika ayahku meninggal dunia, aku merasa sangat sedih, dan aku selalu
menziarahi kuburnya setiap hari. Kemudian ia tidak lagi menziarahinya selama
beberapa waktu yang dikehendaki oleh Allah Swt. Pada suatu hari aku kembali
menziarahi kubur ayahku; dan ketika aku sedang duduk di dekat kubur ayahku,
tiba-tiba mataku terserang kantuk, lalu tertidur. Di dalam mimpiku aku melihat
seakan-akan kubur ayahku terbuka, dan seakan-akan ayahku sedang duduk di
pinggirnya dengan berpakaian kain kafannya, sedangkan rupanya adalah rupa orang
yang telah mati."
Al-Fadl melanjutkan kisahnya, bahwa ia menangis melihat pemandangan itu,
lalu ayahnya bertanya, "Hai anakku, apakah gerangan yang membuatmu lama
tidak menziarahiku?" Aku menjawab, "Apakah engkau benar-benar
mengetahui kedatanganku?" Ayahnya menjawab, "Tidak sekali-kali kamu
datang menziarahiku melainkan aku mengetahuinya. Dulu kamu sering menziarahiku,
dan aku merasa senang dengan kedatanganmu. Orang-orang yang ada di sekitarku
merasa senang pula dengan doamu." Al-Fadl mengatakan bahwa setelah itu ia
sering menziarahi kubur ayahnya.
Telah menceritakan kepadaku Muhammad, telah menceritakan kepadaku Yahya
ibnu Bustam, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Suwaid At-Tafawi yang
mengatakan bahwa ibunya adalah seorang wanita ahli ibadah yang dikenal dengan
julukan Rahibah. Ketika ajalnya telah dekat, Rahibah mengangkat
kepalanya ke arah langit, lalu berdoa, "Wahai Tuhan yang menjadi harapan
dan dambaanku selama hidup dan matiku, janganlah Engkau menjadikan aku terhina
saat matiku, dan janganlah Engkau menjadikan diriku berasa asing dalam
kesendirianku."
Setelah ia meninggal dunia, aku (Usman ibnu Suwaid) selalu menziarahi
kuburnya setiap hari Jumat, mendoakannya serta memohonkan ampunan buatnya, juga
buat ahli kubur lainnya.
Pada suatu malam aku melihat ibuku dalam mimpi, maka aku bertanya
kepadanya, "Ibu, bagaimanakah keadaanmu?" Ia menjawab, "Anakku,
sesungguhnya maut itu benar-benar merupakan musibah yang sangat keras. Dan
sesungguhnya aku, segala puji bagi Allah, benar-benar ada di alam barzakh yang
terpuji yang penuh dengan bau yang harum dan dihamparkan padanya kain sutera
yang tebal dan yang tipis sampai hari berbangkit nanti."
Aku bertanya kepadanya, "Apakah engkau mempunyai keperluan?" Ia
menjawab, "Ya." Aku bertanya, "Keperluan apa?" Ia menjawab,
"Janganlah engkau meninggalkan kebiasaanmu menziarahi kami dan mendoakan
bagi kami, karena sesungguhnya aku benar-benar merasa gembira dengan
kedatanganmu pada hari Jumat. Jika engkau tiba dari rumah keluargamu, maka
dikatakan kepadaku, 'Hai Rahibah, inilah putramu telah datang, maka
bergembiralah.' Dengan demikian, bergembiralah semua orang mati yang ada di
sekitarku."
Telah menceritakan kepadaku Muhammad, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Abdul Aziz ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Bisyr
ibnu Mansur yang mengatakan bahwa ketika wabah ta'un (kolera) sedang
menjalar, ada seorang lelaki bolak-balik pergi ke Al-Jiban. Dia datang untuk
ikut menyalati jenazah. Apabila petang hari, ia berdiri di dekat kuburan seraya
berdoa, "Semoga Allah menghibur kalian dan menyayangi kalian dalam
keterasingan kalian, dan semoga Dia memaafkan kesalahan-kesalahan kalian serta
menerima kebaikan-kebaikan kalian." Dia tidak lebih selain mengucapkan
kalimat tersebut.
Bisyr ibnu Mansur melanjutkan kisahnya, bahwa di suatu petang hari lelaki
itu pulang ke rumah keluarganya tanpa mampir di kuburan dan tidak berdoa
sebagaimana biasanya untuk ahli kubur. Ketika aku (lelaki itu) tidur, tiba-tiba
dalam mimpinya ia kedatangan sejumlah orang, lalu aku bertanya, "Siapakah
kalian ini dan apa keperluan kalian?" Mereka menjawab, "Kami adalah
ahli kubur." Aku bertanya, "Lalu apa keperluan kalian?" Mereka
menjawab, "Biasanya engkau mengirimkan suatu hadiah kepada kami saat
engkau dalam perjalanan pulangmu ke rumah keluargamu." Aku bertanya,
"Hadiah apakah itu?" Mereka menjawab, "Doa-doa yang biasa engkau
ucapkan di dekat kuburan kami." Aku menjawab, "Aku akan
membiasakannya lagi," sejak saat itu aku tidak pernah meninggalkan
kebiasaanku itu. Dan dari peristiwa itu aku mengetahui bahwa mayat itu
mengetahui amal perbuatan kaum kerabat dan saudara-saudaranya.
Abdullah ibnul Mubarak mengatakan, telah menceritakan kepadaku Saur ibnu
Yazid, dari Ibrahim, dari Ayyub yang mengatakan bahwa amal perbuatan
orang-orang yang hidup ditampakkan kepada orang-orang yang telah mati (dari
kalangan keluarganya). Apabila melihat kebaikan, mereka bergembira; dan apabila
melihat keburukan, mereka mengatakan, "Ya Allah, maafkanlah mereka."
Ibnu Abud Dunia telah meriwayatkan dari Ahmad ibnu Abul Hawari yang
mengatakan, telah menceritakan kepada kami saudaraku Muhammad, bahwa Abbad ibnu
Abbad berkunjung kepada Ibrahim ibnu Saleh di Palestina. Lalu Ibrahim berkata,
"Berilah saya nasihat." Abbad berkata, "Nasihat apakah yang akan
kuberikan kepadamu, semoga Allah memperbaiki keadaanmu. Telah sampai kepadaku
suatu riwayat yang menceritakan bahwa amal perbuatan orang-orang yang hidup
ditampakkan kepada orang-orang yang telah mati dari kalangan keluarganya, maka
perhatikanlah amal perbuatanmu, apakah yang akan diperlihatkan darinya kepada
Rasulullah Saw." Maka Ibrahim menangis tersedu-sedu sehingga jenggotnya
basah karena air matanya.
Ibnu Abud Dunia mengatakan, telah menceritakan pula kepadaku Muhammad ibnul
Husain, telah menceritakan kepadaku Khalid ibnu Amr Al-Umawi, telah
menceritakan kepada kami Sadaqah ibjiu Sulaiman Al-Ja'fari yang menceritakan
bahwa dia mempunyai kebiasaan yang buruk; dan ketika ayahnya meninggal dunia,
ia bertobat dan menyesali perbuatan dosa yang pernah dilakukannya. Kemudian ia
tergelincir lagi melakukan kebiasaan buruk itu, maka ia melihat ayahnya dalam
mimpinya, lalu ayahnya berkata, "Anakku, alangkah gembiranya aku denganmu.
Pada mulanya semua amal perbuatanmu ditampakkan kepada kami dan kami
menyerupakannya dengan amal perbuatan orang-orang yang saleh. Tetapi setelah
ketergelinciranmu itu aku merasa sangat malu dengan apa yang telah kamu perbuat
itu. Maka janganlah engkau membuatku sedih di kalangan orang-orang yang telah
mati di sekitarku."
Khalid ibnu Amr Al-Umawi melanjutkan kisahnya, "Sejak saat itu aku
mendengarnya selalu mengucapkan doa berikut di waktu sahurnya, yang secara
kebetulan rumahnya di Kufah bertetangga denganku, yaitu: 'Ya Allah, aku memohon
kepada-Mu tobat yang tidak pernah diulangi lagi dan tidak pernah terkotori
lagi, wahai Allah Yang Memperbaiki keadaan orang-orang yang saleh dan wahai
Allah Yang Memberi petunjuk orang-orang yang sesat, wahai Allah Maha Pelimpah
Rahmat'."
Pembahasan mengenai hal ini memerlukan bab tersendiri mengingat banyaknya
asar dari para sahabat yang menerangkannya. Disebutkan bahwa sebagian kalangan
sahabat Ansar dari kalangan kaum kerabat Abdullah ibnu Rawwahah selalu
mengucapkan doa berikut: Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu
dari amal perbuatan yang karenanya Abdullah ibnu Rawwahah terhina.
Dia mengucapkan doa tersebut setelah Abdullah ibnu Rawwahah mati syahid.
Islam mensyariatkan mengucapkan salam kepada orang-orang yang telah mati.
Dan seperti yang telah kita ketahui, mengucapkan salam kepada orang yang tidak
dikenal serta tidak diketahui kemuslimannya merupakan suatu hal yang tidak
diperbolehkan. Nabi Saw. telah mengajarkan kepada umatnya bila mereka melihat
kuburan hendaknya mengucapkan doa berikut:
"سَلَامٌ عَلَيْكُمْ أَهْلَ
الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ،
يَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَمِنْكُمْ وَالْمُسْتَأْخِرِينَ،
نَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ"
Keselamatan semoga terlimpahkan kepada kalian, wahai ahli kubur dari
kalangan orang-orang mukmin. Dan sesungguhnya kami, insya Allah, akan menyusul
kalian. Semoga Allah merahmati orang-orang yang terdahulu dan yang terkemudian
di antara kami dan kalian. Kami memohon kepada Allah buat kami dan kalian akan
keselamatan.